JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Bintang Puspayoga berharap semua pihak memanfaatkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021. Pemanfaatan mencakup perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi penyelenggaraan perlindungan anak terutama berkaitan kekerasan.

"SNPHAR tahun 2021 ini tidak hanya sekedar menjadi dokumen tetapi benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh pemangku kepentingan," ujar Bintang dalam Launching Hasil Pengolahan dan Analisis Data SNPHAR 2021, di Jakarta, Rabu (30/11).

Dia mengatakan, survei tersebut kini lebih lengkap menggambarkan isu kekerasan terhadap anak. Secara umum prevalensi kekerasan terhadap anak menurun, namun angkanya masih memprihatinkan.

Sebagai gambaran, kekerasan fisik pada anak lebih tinggi dua kali pada SNPHAR 2018 dibanding 2022. Meski persentasenya lebih rendah, teman atau kelompok sebaya masih menjadi pelaku kekerasan fisik.

"Masih dibutuhkan upaya dan sinergi kuat dalam memerangi kekerasan terhadap anak dimulai dari lingkup terkecil yaitu di lingkungan keluarga masing-masing hingga lingkup yang lebih besar lagi," jelasnya.

Bintang menambahkan, survei tersebut menjadi sangat penting bagi pemangku kepentingan dalam membantu memahami skala dan permasalahan kekerasan terhadap anak. Menurutnya, survei tersebut bisa menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan dan program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.

"SNPHAR diharapkan memiliki peran strategis untuk mengukur pencapaian hasil pelaksanaan program, menyediakan target-target, dan input penyempurnaan penyelenggaraan sistem perlindungan anak," tandasnya.

Pemberdayaan Perempuan

Secara terpisah, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Ekonomi, Kemen PPPA, Eni Widiyanti, mengungkapkan pentingnya pemberdayaan perempuan di tengah adanya transformasi teknologi. Perempuan memiliki potensi dalam sektor ekonomi digital, tapi akses mereka masih terbatas.

"Dalam Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2021 menunjukkan secara nasional kesenjangan akses internet di mana 65 persen laki-laki. perempuan 59 persen," katanya dalam Webinar Optimalisasi Peran Perempuan dalam Transformasi Digital di Sektor Publik dan Ekonomi, Rabu.

Dia menambahkan, selain akses dan infrastruktur, perempuan masih menghadapi tantangan kebijakan yang belum responsif gender, beban ganda karena pekerjaan, maraknya kekerasan berbasis gender di ranah digital. Hambatan tersebut bukan karena perempuan lemah, tapi masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat.

"Dukungan peraturan tidak cukup. Perlu ada upaya jangka panjang untuk terus memperkecil kesenjangan dan mengoptimalisasi potensi perempuan di sektor ekonomi dan transformasi digital ini," terangnya.

Baca Juga: