Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan kepercayaan publik.

JAKARTA - Penangkapan 11 pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang diduga melindungi situs judi online menjadi keprihatinan nasional karena judi online telah menyengsarakan masyarakat bahkan banyak kasus bunuh diri, pembakaran suami oleh istri, gara-gara terlibat judi online.

Aparatur negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberantas konten ilegal justru diduga memanfaatkan jabatannya untuk melindungi situssitus yang merusak masyarakat. Untuk menyelesaikan masalah korupsi di pemerintahan memang memerlukan penggunaan teknologi pemantauan terkini yang dibarengi dengan langkah konkret pembenahan etika dan budaya kerja birokrasi dari korupsi menjadi mengabdi kepada publik.

Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Minggu (3/11), mengatakan bahwa kasus itu menjadi cermin dari mental korup yang masih melekat dalam birokrasi Indonesia.

Sebab itu, diperlukan tindakan serius untuk mencegah kejadian serupa di masa depan melalui langkah konkret perbaikan berupa teknologi dan budaya. Hardjuno menilai peristiwa tersebut sebagai cerminan lemahnya sistem pengawasan internal di Kementerian Komdigi. "Kasus ini adalah bentuk penyimpangan jabatan yang serius. Alih-alih menjalankan tugas sebagai penjaga moral digital, aparatur justru menyalahgunakan wewenang.

Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga mengkhianati kepercayaan publik," tegas Hardjuno. Mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai "ikan busuk dari kepala", Hardjuno menegaskan bahwa masalah seperti itu harus diatasi dari pucuk pimpinan. Baginya, pemimpin lembaga harus memiliki integritas yang kuat agar bawahannya mengikuti. Kejadian itu, katanya, harus dipandang sebagai peringatan untuk memperkuat sistem pemantauan terhadap kinerja dan perilaku aparatur.

"Ini bukan hanya persoalan satu atau dua oknum, tetapi menunjukkan kelemahan sistemik dalam pengawasan dan penegakan integritas di lingkungan kerja pemerintah, terutama di kementerian," katanya. "Pengawasan harus lebih ketat. Setiap pegawai harus diawasi agar tidak menyalahgunakan wewenang. Terlebih, perlu ada hukuman tegas dan transparan bagi mereka yang terbukti terlibat dalam tindakan korupsi," paparnya.

Selain itu, penguatan etika kerja dan pelatihan antikorupsi perlu digalakkan secara berkesinambungan. Membangun karakter pegawai yang antikorupsi memerlukan pendekatan sistemik yang mencakup edukasi berkelanjutan dan penerapan teknologi yang transparan. "Setiap pegawai harus paham bahwa mereka bekerja untuk publik, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu," tandasnya. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, Hardjuno mengusulkan integrasi teknologi berbasis kecerdasan buatan untuk memantau aktivitas dan kebijakan internal secara otomatis dan real time. Tantangan terbesar lainnya adalah mengubah budaya kerja di kementerian menjadi lebih transparan dan akuntabel.

"Indonesia memerlukan birokrasi yang bersih dan berintegritas untuk menjamin pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan pribadi. Kasus tersebut seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk tidak hanya menegakkan hukum bagi pelaku, tetapi juga mengubah cara kerja birokrasi agar lebih terbuka dan berintegritas demi menjaga kepercayaan masyarakat. "Dengan langkah konkret dan penguatan sistem pengawasan diharapkan Indonesia mampu menciptakan lingkungan birokrasi yang bebas dari mental korup, menjadikan negara ini lebih bersih dan lebih kuat," tandas Hardjuno.

Citra Buruk

Sementara itu, pengamat komunikasi politik Universitas Bina Nusantara (Binus), Malang, Frederik M. Gasa, mengatakan judi online sudah menjadi penyakit di masyarakat yang harus disembuhkan. "Ini juga menggambarkan birokrasi kita masih sulit keluar dari praktik koruptif, sehingga memperburuk citra di mata investor, dan menyandera tingkat daya saing usaha.

Upaya melawan judi online yang dicanangkan Presiden Prabowo sudah seharusnya dilakukan oleh semua pegawai kementerian sebagai implementasi 'garis komando' agar citra birokrasi bisa positif," tegas Frederik. Praktik good corporate and governance sejatinya masih jauh panggang dari api, serta harus menjadi perhatian serius pemerintahan yang baru dengan membenahi mindset dan mental. "Sama seperti kita saat melawan suatu penyakit, maka salah satu upaya preventif adalah dengan membuat mental dan pikiran sehat terlebih dahulu," ungkapnya.

Baca Juga: