oleh siti nurul hidayah
Nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di ujung tanduk. Eksistensinya semakin terancam karena buah proses seleksi calon pimpinan (capim) KPK yang dari awal bermasalah dan kental nuansa kepentingan pihak tertentu. Asumsi itu berkembang lantaran sejumlah anggota panitia seleksi (pansel) capim KPK bentukan Presiden Joko Widodo memiliki tidak memiliki integritas. Rekam jejak masa lalu kurang meyakinkan di bidang pemberantasan korupsi.
Aroma kepentingan pun menguat setelah pansel berkunjung ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Muncul kesan kuat, pansel menginginkan pimpinan KPK berasal dari unsur Polri. Pansel telah menyerahkan 10 nama ke Presiden Jokowi dan Presiden sudah melanjutkan ke DPR. Sebanyak 10 nama itu mendapat respons negatif dari masyarakat.
Bahkan, Wadah Pegawai KPK menyuarakan keberatannya atas 10 nama tersebut lantaran memiliki rekam jejak kelam di masa lalu, di antaranya mulai dari menerima gratifikasi, tidak melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), menghalangi penyidikan dan pelanggaran etik lainnya.
Di saat sama, DPR diam-diam menyetujui draf revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang disahkan dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) yang diselenggarakan tanggal 3 September. Dalam draf revisi tersebut, terdapat sejumlah klausul yang memangkas kewenangan KPK.
Ada lima poin kontroversial draf revisi UU KPK tersebut. Pertama, perubahan status KPK yang tadinya lembaga ad hoc independen menjadi lembaga pemerintah. Kedua, pembentukan dewan pengawas KPK terdiri atas lima dipilih DPR berdasar usulan Presiden. Ketiga, pelarangan penyadapan tanpa izin Dewan Pengawas. Keempat, pemberian kewenangan pada KPK untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) jika proses penyidikan sampai penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Terakhir, mengharuskan KPK mengangkat penyidik dari kalangan Polri, Kejaksaan Agung, dan penyidik Aparatur Sipil Negara (ASN).
Rancangan revisi UU KPK itu pun sontak menuai protes keras dari publik. Jika disetujui Presiden Jokowi, revisi UU KPK tentu mengancam masa depan gerakan pemberantasan korupsi. Melalui revisi, kewenangan KPK dalam pengungkapan korupsi diamputasi. Konsekuensinya, KPK akan berakhir seperti "macan ompong" karena kehilangan otoritas.
KPK sebagai anak kandung Reformasi boleh dibilang merupakan satu-satunya lembaga independen yang berada di garis depan dalam memberantas korupsi. KPK memang bukan lembaga sempurna, tanpa cela. Namun demikian, keberadaannya dengan segenap wewenangnya masih menjadi tumpuan harapan masyarakat mewujudkan cita-cita Indonesia bersih dari korupsi.
Maka, pengebirian wewenang KPK baik melalui revisi UU KPK maupun pengajuan capim bermasalah, merupakan tindakan keji yang harus dilawan bersama oleh negara dan masyarakat sipil. Korupsi, merupakan penghambat kemajuan bangsa dan negara.
Praktik korupsi yang merajalela nyaris di semua sektor telah menimbulkan ketidakadilan, kemiskinan dan kerusakan sosial yang luas. Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang dampak destruktifnya barangkali lebih dahsyat ketimbang aksi terorisme sekali pun. Di level global, peringkat pemberantasan korupsi Indonesia harus diakui tidak terlalu membanggakan.
Zona Merah
Data Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada tahun 2018 menyebut Indeks Pemberantasan Korupsi (IPK) berada di zona merah. Skor IPK Indonesia 3,8 sebagai salah satu negara dengan korupsi terparah di dunia. Meski demikian, kerja keras KPK mengungkap berbagai skandal megakorupsi patut diapresiasi. Hal itu menandai keseriusan memberantas praktik kotor warisan Orde Baru.
Terbukti, meski Indonesia masih menjadi negara dengan zona merah korupsi, indeks persepsi korupsi terus naik, di peringkat 89 dari 180 negara. Ini naik tujuh dari tahun lalu, 96. Di kawasan Asia Tenggara, indeks persepsi korupsi di posisi keempat, setelah Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Di tengah progresivitas KPK memberantas korupsi, revisi UU KPK dan pengajuan capim bermasalah jelas kontraproduktif. Ironisnya lagi, revisi UU KPK diinisiasi partai politik yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah. Maka tidak diragukan, upaya pelemahan KPK adalah serangan kaum elite politik yang tidak mau kepentingannya terusik KPK.
Sudah menjadi rahasia umum, demokrasi selama dua dekade terakhir ditelikung jaringan oligarki yang melibatkan persekongkolan elite ekonomi dan politik. Biaya politik yang mahal dan maraknya politik uang menyebabkan parlemen lebih banyak berisi politisi pemburu kuasa bermental koruptif.
Parpol yang seharusnya menjadi pilar demokrasi pun gagal menjalankan fungsinya. Parpol terjebak dalam labirin oligarki yang korup. Maka tidak mengherankan jika partai dan parlemen merupakan dua institusi paling tidak dipercaya publik. Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2018 mendapati fakta, DPR dan parpol merupakan dua institusi politik paling tidak dipercaya publik.
Sebaliknya, KPK justru berada di posisi tiga teratas sebagai institusi paling dipercaya. Di posisi puncak adalah presiden, disusul Tentara Nasional Indonesia. Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan KPK. Publik berharap banyak, dia mampu menunjukkan kapasitas kepemimpinannya dan berani melawan setiap upaya yang berkecenderungan mengebiri kewenangan KPK.
Revisi UU KPK kini sepenuhnya di tangan Presiden Jokowi. Dialah pemegang kunci nasib KPK ke depan. Dengan segala capaian, kinerja dan sepak terjang KPK selama ini, kita berharap Presiden Jokowi mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan publik.
Terkait seleksi capim KPK, Presiden Jokowi harus memastikan KPK dipimpin sosok yang berkomitmen dan integritas tinggi pemberantasan korupsi. Nama-nama yang sekiranya bermasalah dan berpotensi menjadi beban KPK di masa depan hendaknya dicoret. Tapi terlambat, karena 10 nama sudah di DPR.
Sedangkan terkait revisi UU KPK, Presiden Jokowi idealnya menggunakan wewenangnya untuk membatalkan rencana tersebut. Presiden harus menolak membahas revisi UU KPK bersama DPR. Jika pemerintah membahasnya, besar kemungkinan dia kehilangan legitimasi kepemimpinannya di hadapan publik.
Inilah momentum bagi Presiden Jokowi untuk membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin yang kerap dipersepsikan sosok progresif dan merepresentasikan kekuatan masyarakat sipil. Untuk itu, segenap elemen mulai dari aktivis sosial, intelektual, mahasiswa, tokoh keagamaan dan lainnya perlu mendorong Presiden Jokowi menyelamatkan KPK dari serangan kelompok elite oligarkis. Hal ini urgen lantaran menyelamatkan KPK berarti juga menyelamatkan Indonesia. Penulis Peneliti Center for the Study of Society and Transformation