JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2022 dan triwulan IV 2022 akan mencapai 5,2 persen secara tahunan (year on year/yoy).

"Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga," ungkap Menko Airlangga Hartarto dalam acara "BNI Investor Daily Summit 2022", di Jakarta, Selasa (11/10).

Seperti dikutip dari Antara, Airlangga menyebutkan pertumbuhan ekonomi domestik sudah mampu tumbuh di atas lima persen (yoy), yakni pada kuartal kedua tahun ini dengan beberapa komponen yang membaik.

Berdasarkan komponen pengeluaran pertumbuhan ekonomi, kata Airlangga, konsumsi rumah tangga berhasil tumbuh 5,5 persen (yoy) serta Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 3,07 persen (yoy). Sementara dari komponen lapangan usaha, sektor transportasi meningkat 21,27 persen (yoy), dan industri pengolahan tetap menjadi sumber terbesar pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sektor riil, lanjutnya, neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan tumbuh positif, indeks keyakinan konsumen tercatat di atas 100, serta cadangan devisa tetap kuat sekitar 130 miliar dollar AS. Kondisi tersebut membuktikan bahwa tingkat ketahanan Indonesia relatif tinggi.

IHSG Tumbuh

Di sektor keuangan, kata dia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu tumbuh di atas 6 persen, meski nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 6,5 persen. Namun, banyak negara yang mengalami penurunan lebih dalam dari segi mata uang mereka, seperti Inggris yang minus 20 persen.

Sementara dari segi inflasi, Menko Airlangga mengingatkan faktor utama inflasi ada di sektor energi. Adapun penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri akan memberi dampak selama empat bulan terhadap inflasi domestik. "Dari pengalaman beberapa tahun lalu, terlihat inflasi akan naik selama empat bulan, tetapi akan melandai kembali kemudian," ujar Menko Airlangga.

Kendati di sektor energi masih meningkat, dia menuturkan beberapa harga komoditas seperti bawang merah dan aneka cabai relatif menurun harganya, sehingga menjadi shock absorber inflasi di sektor pangan.

Baca Juga: