WASHINGTON - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS), Janet Yellen, pada Kamis (9/6) waktu Washington, mengatakan tidak memperkirakan ekonomi AS akan mengarah ke resesi, tetapi pertumbuhannya akan benar-benar melambat dan harga bahan bakar tidak mungkin turun dalam waktu dekat.

"Saya tidak berpikir kita mengalami resesi. Belanja konsumen sangat kuat. Belanja investasi solid," katanya dalam acara New York Times Dealbook seperti dikutip dari Antara.

"Saya tahu orang-orang sangat kesal dan memang benar begitu tentang inflasi, tetapi tidak ada yang menunjukkan bahwa resesi sedang terjadi," kata Yellen.

Mantan Gubernur Bank Sentral AS, Federal Reserve, itu pada pekan lalu mengakui bahwa dia salah dalam memprediksi inflasi yang hanya akan bersifat sementara. Dalam acara itu, dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengubah keputusan kebijakan AS jika dia bisa kembali ke masa lalu.

"Saya tidak akan melakukannya secara berbeda," kata Yellen, mengatakan bahwa American Rescue Plan senilai 1,9 triliun dollar AS yang ditandatangani Presiden Joe Biden diperlukan untuk mencegah satu generasi orang Amerika menderita tingkat pengangguran yang tinggi. "Hal-hal yang tidak terduga selalu bisa terjadi. Dunia sangat tidak pasti," katanya.

Menurut Yellen, memerangi inflasi adalah prioritas utama Presiden Joe Biden. Apalagi sebelumnya tidak ada yang memperkirakan kalau harga bensin yang baru saja mencapai 5 dollar AS per galon sehingga sulit turun dalam waktu dekat.

Dia mengatakan rumah tangga Amerika jelas khawatir tentang melonjaknya harga bensin, yang memainkan peran kunci dalam membentuk ekspektasi konsumen, tetapi "menakjubkan" betapa pesimisnya orang Amerika tentang ekonomi mengingat fakta bahwa AS sekarang memiliki pasar tenaga kerja terkuat sejak perang dunia kedua.

Biden telah melakukan "apa yang bisa dia lakukan" untuk mengatasi harga bensin yang tinggi dengan mengarahkan penarikan bersejarah dari cadangan minyak strategis.

Dia menambahkan bahwa pejabat AS juga akan terus memperketat sanksi yang bertujuan menghukum Russia dan menghentikan perang di Ukraina.

Ketika Federal Reserve (Fed) memperketat kebijakan moneter untuk menahan permintaan dan menurunkan inflasi, Yellen mengatakan dia melihat jalan menuju soft landing yang akan menghindari resesi.

Situasi Lebih Berbahaya

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan statemen dari Menkeu AS memperkuat kalau ancaman stagflasi itu nyata, inflasi tinggi berlangsung secara jangka panjang kemudian disusul dengan lapangan kerja yang belum terbuka, belum kembali seperti sebelum prapandemi.

"Ini situasi yang lebih berbahaya karena inflasi yang tinggi tentunya akan mendorong tingkat kenaikan suku bunga secara lebih cepat, cost of fund biaya bunga kredit pinjaman akan semakin naik,"katanya.

Akibatnya, perusahaan yang memiliki beban utang akan mengalami tekanan termasuk di negara berkembang karena dikhawatirkan siklus seperti yang terjadi pada 2013 di mana terjadi tapper tantrum bisa terulang lagi di tahun 2022 ke depannya.

"Bagaimanapun kita harus menyikapi bahwa indikator makroekonomi secara global masih menunjukkan pelambatan pascapandemi. Jadi, belum ada kenaikan yang menggembirakan atau signifikan dari konsumsi rumah tangga, dari industri manufaktur, seperti prapandemi. Perekonomian, kata Bhima, masih butuh penyesuaian yang masih cukup lama.

Baca Juga: