JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa regulasi pajak karbon sedang disiapkan sebagai upaya pemerintah mengurangi emisi karbon dan mendukung keberlanjutan lingkungan di Indonesia.
"(Penerapan pajak karbon, sedang) kami siapkan terus building block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya," kata Sri Mulyani di sela menghadiri Indonesia Net-Zero Summit (INZS) di Jakarta, Sabtu (24/8).
Sri Mulyani menjelaskan bahwa persiapan untuk pajak karbon mencakup berbagai aspek, termasuk peraturan, regulasi, serta kesiapan perekonomian dan industri sehingga apabila kebijakan itu diterapkan dapat berjalan secara efektif.
"Persiapan mengenai, kesiapan dari sisi perekonomian dan industrinya," ujarnya.
Dia juga menyoroti bahwa mekanisme pasar karbon yang sudah ada saat ini merupakan langkah awal penting dalam mengontrol emisi. Sistem itu sebagai alat untuk menilai dan membatasi emisi karbon, yang akan mendukung komitmen pengurangan emisi di masa depan.
"Tapi kan sekarang sudah ada karbon market melakukan cap and trade. Saya rasa itu juga merupakan mekanisme yang bisa terus diakselerasi untuk bisa menciptakan komitmen terhadap berapa emisi yang harus tetap dikontrol," ucap Menkeu.
Walaupun demikian, Menteri Keuangan tidak memberikan rincian pasti mengenai kapan pajak karbon akan diterapkan secara resmi.
Sebelumnya, Deputi III Bidang Pengembangan Usaha & BUMN Riset dan Inovasi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, nantinya terdapat dua fase penerapan pajak karbon sesuai dengan rancangan peta jalan (roadmap).
Namun, belum diketahui kapan kebijakan ini akan mulai diimplementasikan. Untuk fase pertama, pajak karbon diusulkan hanya untuk subsektor pembangkit listrik.
"Pemerintah melaksanakan pembahasan peta jalan pajak karbon di mana pada tahap awal peta jalan pajak karbon diusulkan cukup mengatur terkait penerapan pajak karbon bagi subsektor pembangkit listrik untuk mendukung dan menyesuaikan dengan peta jalan perdagangan karbon yang sudah ada," kata Elen saat menyampaikan sambutan dalam webinar bertajuk Perdagangan dan Bursa Karbon di Indonesia 2024 di Jakarta, Selasa (23/7).
Kemudian untuk fase kedua, Elen menjelaskan akan terdapat penambahan untuk pengenaan pajak karbon bagi subsektor transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil.
"Pengenalan terhadap dua subsektor ini diharapkan dapat mencakup sekitar 71 persen jumlah emisi dari sektor energi, yaitu 48 persen dari pembangkit (listrik) dan 23 persen dari transportasi atau sekitar 39 persen dari total emisi Indonesia," katanya.
Sesuai amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pemerintah saat ini sedang menyiapkan peta jalan kebijakan pajak karbon sebagai komitmen dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dan mencapai target emisi nol karbon (net zero emission/NZE) pada 2060.
Menurut Elen, penerapan ekonomi hijau dalam jangka panjang dapat menstabilkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level rata-rata 6,2 persen hingga 2045.
Selain itu, transisi menuju ekonomi hijau juga dinilai dapat mengurangi emisi sebesar 86 juta ton CO2 ekuivalen hingga menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru.
"Kerja-kerja Pemerintah ini akan mencapai hasil yang lebih baik jika mendapat dukungan dari sektor swasta, akademisi, masyarakat sipil serta media," ucap Elen.
Adapun pada 26 September lalu, Pemerintah telah meresmikan bursa karbon sebagai strategi lain mencapai target emisi nol karbon.
Nilai transaksi bursa karbon di Indonesia tercatat mencapai Rp36,7 miliar sejak awal peluncurannya sampai dengan 30 Juni 2024. Volume transaksi perdagangan di bursa karbon juga tercatat sebanyak 608 ribu ton CO2 ekuivalen.