» Selain melakukan penagihan utang, DJKN harus meningkatkan pengelolaan aset negara.

» Dalam jangka pendek, negaranegara akan menghadapi tantangan krisis utang global.

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, meminta Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Rionald Silaban, untuk bekerja keras dalam menyelesaikan piutang negara dan mengelola kekayaan negara secara optimal.

"Saya minta kepada Pak Rionald untuk terus meningkatkan kemampuan kita di dalam menyelesaikan dan mengelola piutang negara dan kekayaan negara lainnya seperti tugas untuk penagihan untuk beberapa outstanding issue," kata Menkeu dalam arahannya pada pelantikan jajaran penjabat eselon 1 di Jakarta, Jumat (12/3).

Dalam melaksanakan tugas penagihan, Menkeu mengatakan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) perlu bekerja sama dengan aparat penegak hukum di dalam melakukan penegakan hukum secara konsisten dengan kompetensi dan integritas yang tinggi.

"Tugas DJKN merupakan salah satu motor reformasi dalam mengelola kekayaan negara. Tidak hanya sekadar sebagai administrator, namun juga sebagai aset manajer," katanya.

Selain melakukan penagihan utang, Rionald harus mampu meningkatkan pengelolaan aset negara baik dari perpajakan maupun penerimaan negara di luar pemanfaatan aset. Sebab, tingkat peradaban ekonomi suatu negara akan terlihat dari bagaimana aset yang dimiliki bisa bekerja keras, dimanfaatkan secara efektif, dan tidak menjadi aset-aset yang idle (menganggur).

Dalam kesempatan itu, Menkeu juga mengingatkan bahwa tantangan ekonomi negara-negara di dunia dalam jangka pendek atau 3-5 tahun ke depan, yakni potensi terjadinya penggelembungan aset, ketidakstabilan harga, commodity shock, krisis utang, serta risiko geopolitik.

Menurut dia, tantangan tersebut sudah ditulis dalam laporan yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) yang bertajuk "The Global Risk Report 2021". Munculnya risiko tersebut akibat kebijakan countercyclical dalam mengatasi krisis akibat pandemi Covid-19. Dalam kondisi ekonomi yang lesu, semua negara berlomba-lomba menginjeksi likuiditas ke perekonomiannya dengan menarik utang.

Khusus bagi ekonomi Indonesia, kata Menkeu, ancaman terbesarnya mulai dari ketidakpastian harga komoditas hingga krisis utang. "Setiap kebijakan ada manfaat, tapi ada konsekuensinya dari APBN, fiskal, dan lembaga lain dalam menangani Covid," kata Menkeu.

Menanggapi ancaman krisis utang itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, mengatakan kekhawatiran krisis utang global memang patut diwaspadai karena krisis ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19 belum jelas kapan akan berakhir. "Sejak pandemi, ekonomi negara-negara di dunia macet, padahal ekonomi itu tumpuannya mobilitas dan barang, sehingga penerimaan negara-negara merosot. Mau tidak mau mereka utang, baik negara maju maupun berkembang," kata Munawar.

Dalam perjalanannya, krisis kesehatan semakin tidak pasti, karena ada varian baru virus yang menyebar sehingga krisis utang global semakin nyata. "Krisis akan lebih terasa di negara-negara berkembang yang kekuatannya fiskalnya lemah. Sedangkan negara berkembang yang cukup maju akan menerbitkan surat utang baru, atau pinjam ke negara maju seperti yang dilakukan pemerintah selama ini," kata Munawar.

Lebih Dalam

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan jika kemerosotan ekonomi tahun ini lebih buruk dari 2020, maka risiko ekonomi keuangan akan semakin mengancam.

"Utang dipastikan bertambah, bahkan dengan suku bunga lebih tinggi lagi sehingga makin memberatkan pemerintah di kemudian hari," kata Suhartoko. n SB/ers/E-9

Baca Juga: