BI sebagai otoritas moneter harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, jangan sampai rupiah terus terpuruk.

JAKARTA - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), pada Selasa (20/2), ditutup merosot menjelang risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan memutuskan suku bunga kebijakan AS atau Fed Funds Rate (FFR).

Pada akhir perdagangan Selasa, rupiah ditutup tergelincir 29 poin atau 0,19 persen ke level 15.660 rupiah per dollar AS, dibanding sebelumnya 15.631 rupiah per dollar AS.

Analis ICDX, Taufan Dimas Hareva, di Jakarta, Selasa (20/2), mengatakan pelaku pasar berhati-hati sambil menunggu pertemuan FOMC, juga memicu kenaikan pada kinerja dollar AS dan menekan pergerakan rupiah.

Risalah pertemuan FOMC akan memberikan penjelasan rinci tentang alasan mempertahankan suku bunga utama tidak berubah di kisaran 5,25 persen sampai dengan 5,50 persen pada bulan Januari.

Menurut Taufan, melalui risalah FOMC tersebut, pelaku pasar juga menantikan prospek baru terkait suku bunga acuan AS.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa indeks harga konsumen (consumer price index) AS naik 3,1 persen dari tahun lalu di bulan Januari, turun dari 3,4 persen di bulan Desember 2023. Namun, pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi dari perkiraan para ekonom sebesar 2,9 persen.

Data inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan juga mendorong dollar AS dan imbal Hasil Treasury menghilangkan peluang penurunan suku bunga Federal Reserve pada bulan Maret.

Menurut pendapat analis, pasar keuangan AS sedang menyesuaikan diri dengan tingkat suku bunga AS yang lebih tinggi dengan jangka waktu lebih lama. Sementara itu, Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa melemah ke level 15.659 rupiah per dollar AS dari sebelumnya 15.630 rupiah per dollar AS.

Pada kesempatan terpisah, Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, mengatakan pasar tentu masih menunggu keputusan FMOC, apakah akan mempertahankan FFR atau melakukan penyesuaian.

Pertemuan resmi FMOC sendiri baru akan dilaksanakan bulan depan. "Perkiraan yang ada tampaknya suku bunga tersebut dipertahankan di kisaran 5,25-5,50 persen, dengan alasan masih sulitnya prospek penurunan inflasi AS ke level yang diharapkan. Dengan demikian, posisi dollar masih potensial menguat, termasuk terhadap rupiah," kata Aloysius.

Selain itu, dari sisi domestik, Aloysius mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang merosot mungkin menjadi indikasi kalau hasil sementara pemilu, khususnya pilpres, belum mampu memberikan sentimen positif bagi rupiah.

"Hal ini sekaligus memberikan kemungkinan bahwa pasar domestik masih menunggu seperti apa hasil dari proses-proses politik pascapemilu, bahkan sebelum hasil resmi pemilu diumumkan," tandas Aloysius.

Pengendalian Inflasi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan kalau nilai tukar rupiah terdepresiasi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pun anjlok. Kondisi saat ini, jelasnya, disebabkan oleh inflasi yang terjadi di negara adidaya itu, sehingga suku bunga dinaikkan untuk pengendalian inflasi.

Selain itu juga disebabkan indeks dollar AS yang menguat sehingga kenaikan mata uang global itu menekan mata uang negara lain termasuk Indonesia.

Hal lainnya adalah kenaikan impor Indonesia menggerus devisa negara, karena impor dibayar dengan valuta asing (valas), sehingga supply dollar AS di Indonesia berkurang yang pada akhirnya menekan nilai rupiah terhadap dollar AS.

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter berfungsi menjaga stabilitas nilai tukar harus waspada, jangan sampai rupiah terus terpuruk. Caranya dengan menyesuaikan tingkat suku bunga Fed, untuk mencegah terjadinya capital flight.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan tekanan pada rupiah masih akan berlanjut seiring dengan proyeksi pelemahan ekonomi negara mitra dagang dan investasi strategis Indonesia.

Situasi Tiongkok, Jepang, dan Eropa menunjukkan adanya kekhawatiran resesi skala besar. Imbasnya, perdagangan dan investasi langsung tahun ini bisa melambat.

"Jadi, pemerintah dan pelaku usaha harus lakukan antisipasi dengan mendorong hedging bagi pinjaman valas sekaligus menahan laju utang luar negeri secara paralel," kata Bhima.

Baca Juga: