JAKARTA - Starlink adalahsatelit yang diletakkan di orbit rendah bumi ini (low earth orbit/LEO) pada ketinggian sekitar 550 kilometer. Layanannya internet global berbasis satelit dari SpaceX disebut akan tersedia di Indonesia pada 2024.

Sejauh ini SpaceX telah menempatkan ratusan satelit di orbit rendah yang berfungsi seperti BTS dan terhubung dengan perangkat berukuran kecil di permukaan Bumi. Saat ini jumlah satelit Starlink mencapai 2.000 melayani masyarakat di 32 negara.

CEO Selular Media Network, Uday Rayana mengatakan, di tengah rencana tersebut operator seluler dan pengusaha penyedia layanan internet di Indonesia menghadapi tantangan yang tidak ringan saat ini. Di tengah melambatnya pertumbuhan industri seluler maupun jasa internet, mereka justru mendapatkan bebanregulatory chargeyang besar.

Masalah tidak sampai di situ, pasalnya operator seluler dan para pengusaha jasa internet bakal dihadapkan pada kemungkinan masuknya operator berbasis satelit, Starlink. Perusahaan milik Elon Musk yang layanannya komersialnya ditargetkan diluncurkan pada 2024.

"Starlink bakal masuk dimulai dengan SMS sebelum menambahkan layanan suara dan data, serta konektivitas IoT pada 2025. Kehadiran Starlink yang dinilai sarat denganprivilege,tentu membuat industri selular semakin tidak sehat," kata dia dalam acara diskusi Selular Business Forum (SBF) bertema Polemik Layanan Telepon dan Internet Satelit, Siapa Untung Siapa Buntung? di Jakarta Senin (27/11).

Menanggapi pernyataan tersebut, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kementerian Kominfo, AjuWidya Sarimengatakan, internet berbasis satelit seperti Starlink sangat dibutuhkan di Indonesia. Hal ini lantaran masih banyak desa yang mengalamiblank spot.

"Baru 70 persen desa di Indonesia yang tercakup internet dan sisanya masihblank spot," kata dia.

Aju menjelaskan biaya infrastruktur untuk membangun jaringan internet di Indonesia sangat tinggi dan dikeluhkan para operator. Hal tersebut yang membuat pemerintah dalam hal ini Kominfo beralih ke satelit internet. "Saat ini terdata 1020 desa dan masih banyak lagi yang mengajukan permohonan dari pemda-pemda untuk penanganan desablank spot," sambungnya.

Pengamat Telekomunikasi, sekaligus Pengajar ITB dan Mantan Komisioner BRTI, Agung Harsoyo mengatakan perlu dipertimbangkan untuk kebijakan satelit internet. Ia berharap pemerintah tidak membuat keputusan berupa pemberian izin baru, sebelum dilakukan kajian yang menyeluruh dan cermat oleh seluruh pemangku kepentingan terkait kepentingan nasional.

Sekjen ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia), Marwan O. Baasir menjelaskan dengan hadirnya Starlink tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang pro, Starlink memiliki cakupan yang sudah menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan memiliki kapasitas data yang besar.

"Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung percepatan layanan internetbroadbanddi wilayah yang belum terjangkau layanan pita lebar terestrial termasuk bisa dimanfaatkan oleh penyelenggara seluler sebagaibackhaul," katanya.

Bagi yang kontra, jika tidak diatur secara tepat, layanan Starlink berpotensi bisa mengancam bisnis penyelenggara telko nasional seperti layanan seluler, Jartup (Jaringan tertutup) dan penyelenggara satelit GSO," ujar Marwan pada kesempatan tersebut.

"Selain itu, harga berlangganan dan UE CPE masih mahal, Starlink belum memiliki izin penyelenggara Jasa ISP di Indonesia, dan Starlink masih memakai IP Global sehingga berpotensi ada isu PDP dan kedaulatan negara," sambungnya.

Marwan menambahkan, ATSI mengajukan usulan kepada pemerintah untuk tidak menerapkan kebijakan yang semakin memberatkan operator seluler jika Starlink masuk. Usulannya lebih baik layanan Starlink masuk kebusiness to business(B2B), lalu harus kerjasama dengan penyelenggara satelit Indonesia, hingga harus memiliki Izin Hak Labuh (landing right) dan Izin Jartup untuk layananbackhaul.

"Starlink juga harus menggunakan Alokasi Penomoran IP Indonesia, harus membangun Server dan DRC di Indonesia dancomplyterhadap Regulasi Lawfull Interception di Indonesia, dan sebagai penyelenggara jasa, Starlink harus dikenakan kewajiban untuk membayar BHP Tel dan USO," imbuh Marwan.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arifmengatakan, pihak penyedia jasa internet (Internet Service Provider/ISP) harus siap jika Starlink masuk ke Indonesia. Pihaknya merasa harus siap jika Starlink nantinya beroperasi.

"Jika ditanya siap atau tidak siap, maka mau tidak mau anggota APJII yang jumlahnya 1013 ini harus siap jika Starlink masuk," ungkapnya.

Baca Juga: