Oleh Mohammad Hafiz

Pemindahan ibu kota negara di negeri ini adalah kaji berulang. Bahkan sejak DKI Jakarta bernama Batavia. Alasannya tidak jauh berbeda, yaitu problem Jakarta yang sudah akut. Mulai dari kepadatan penduduk, banjir, kemacetan, sumber air bersih, masalah ekologis dan tata kota yang buruk lainnya merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya fungsi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat ekonomi.

Pada awal abad 20, Pemerintah kolonial Hindia-Belanda telah memulai kegiatan pemindahan ibu kota, dari Jakarta ke Bandung. Kajian yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menganggap Jakarta sudah tidak memenuhi standar kelayakan karena problem banjir yang terus saja berulang. Selain itu, anggapan bahwa Jakarta adalah kota yang kotor, panas, dan berpenyakit mengendap dalam pikiran orang-orang Belanda (Utama, 2017). Namun tidak kejadian, karena ekonomi Pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang memburuk.

Pemindahan ibu kota memang sempat terjadi pada 1946 dari Jakarta ke Yogyakarta, dan pada 1948, dari Yogyakarta ke Bukittinggi. Namun ketika itu republik ada dalam situasi darurat perang. Pemindahan hanya sementara dan tidak defenitif.

Setelah itu, Presiden Sukarno punya wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangkaraya. Sedangkan di era Soeharto, wacana pemindahan ibu kota ke Jonggol, Jawa Barat. Bahkan Soeharto sampai menerbitkan Keppres tentang pengembangan kawasan Jonggol menjadi kota mandiri. Pada zaman Presiden B.J. Habibie, juga pernah mewacanakan pemindahan lokasi ibu kota ke Sidrap, Sulawesi Selatan. Akantetapi semuanya, tak rampung karena berbagai faktor.

Begitupun di era Presiden SBY. Sejumlah opsi dimunculkan untuk pemindahan ibu kota negara. Seperti membangun ibu kota baru atau memindahkan pusat pemerintahan saja sedangkan ibu kota negara tetap di Jakarta. Namun dua periode pemerintahan SBY berkuasa, tak jua terealisasikan.

Munculnya wacana pemindahan ibu kota pada era Jokowi kali ini, juga membuat publik ragu. Akankah bernasib sama? Apatah lagi ekonomi sekaran tidak cukup mumpuni untuk menalangi biaya pemindahan ibu kota.

Profesor A Tony Prasetiantono memperkirakan, jika betul dilaksanakan pemindahan ibu kota negara bakal menelan biaya kurang lebih Rp 500 triliun. Ini sungguh sangat besar. Sebagai perbandingan, biaya pembangunan mass rapid transit (MRT) di Jakarta "hanya" sekitar Rp 30 triliun, bandara Kulonprogo di Yogyakarta Rp 10 triliun, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang megah itu "cuma" Rp 7 triliun. Atau, jika dikonversikan untuk anggaran pemerintah untuk infrastruktur Indonesia, itu ekuivalen dengan hampir dua tahun anggaran (Prasetiantono, 2017 ).

Keterlibatan Swasta

Kabarnya, pemerintah bakal merangkul pihak wasta untuk membantu pembiayaan. Namun kerjasama swasta dalam hal pendanaan infrastruktur, yang dalam hal ini membangun gedung pemerintahan agaknya sulit diimplementasikan. Sebab pihak swasta akan berpikir dua kali lantaran hampir tidak ada nilai investasi menggelontorkan sejumlah dana untuk hal tersebut. Jangankan itu, untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung berbiaya Rp 74 triliun saja swasta terlihat gamang.

Soal biaya memang sangat penting dalam projek besar pemindahan ibu kota. Bahkan bisa dikatakan sebagai hal yang utama. Namun saya bukan dalam kapasitas untuk menjabarkan aspek ekonomi tersebut, biarlah para ekonom "berakrobat" memikirkan sumber pendanaannya. Saya ingin menjabarkan beberapa pertimbangan pemindahan ibu kota di samping aspek pembiayaan tersebut.

Pemindahan ibu kota, baik itu dalam bentuk membangun ibu kota yang benar-benar baru, ataupun ibu kota tetap di Jakarta tetapi pusat pemerintahan berpindah ke tempat lain, tidak akan luput dari dua hal.

Pertama, soal apa saja yang mau dipindahkan. Dalam konstitusi Republik Indonesia, setidaknya ada dua pasal yang menyinggung ibu kota negara. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara. Lalu, ada Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ketentuan senada ditemukan dalam beberapa Undang-Undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di Ibukota negara.

Perpindahan ibu kota negara berarti lembaga-lembaga negara tentu harus sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang. Sebagai contoh penentuan lembaga yang bakal dibawa pindah, sebagaiaman MPR harus bersidang di ibukota baru; demikian pula kantor pusat BPK harus berpindah.

Jika DPR dan DPD tetap berada di Jakarta dan hanya saat sidang MPR berangkat ke Ibukota negara baru, beban biaya yang harus ditanggung sangat besar. Apalagi jika Rapat Dengar Pendapat (RDP) menteri kabinet digelar di Jakarta, sedangkan Presiden dan menterinya berkantor di ibukota negara yang baru.

Implikasi paling jelas adalah perubahan banyak sekali Undang-Undang. Karena itu, perubahan ibukota tak bisa ditentukan sendiri oleh Pemerintah. Perpindahan adalah kebijakan yang harus diputuskan bersama-sama dengan DPR, untuk lebih jelas perihal apasaja unsur pemerintahan dan lembaga negara yang layak dipindahkan (Hukumonline, 10/7/2017).

Kedua, soal kemampuan tata ruang. Apakah tata ruang opsi tempat tujuan pemindahan dapat mengakomodasi untuk menjadi sebuah ibu kota? Ketika wilayah itu ditunjuk tapi tata ruang tidak terakomodasi, maka peraturan daerah terkait tata ruang harus diubah.

Akutnya persoalan Jakarta, tentu memerlukan pemecahan segera. Aplagi ibu kota Jakarta yang menjadi pusat tumpuan ekonomi semakin sesak dari tahun ke tahun. Dana desa yang digulirkan ke daerah pun tak mempan membendung arus urbanisasi.

Penulis, pemerhati hukum dan kemasyarakatan, lulusan Master of Science Malaya University

Baca Juga: