Di tengah persoalan wabah Covid-19, masalah seleksi siswa baru untuk masuk sekolah jenjang SD, SMP, dan SMA, terutama di Ibu Kota Jakarta menimbulkan polemik, tepatnya banyak diprotes orang tua. Protes dan demo orang tua terutama menyangkut kriteria umur yang ikut menentukan lolos tidaknya calon siswa dalam proses seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Polemik sampai saat ini tetap berlanjut, meski Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI kukuh pada pendirian bahwa penambahan kriteria umur sudah sesuai peraturan Kemendikbud.

Sementara orang tua masih beranggapan bahwa penetapan umur itu tidak adil dengan kenyataan selama ini karena siswa telah belajar dengan giat selama ini untuk mendapatkan sekolah negeri di jenjang, baik SMP maupun SMA. Kita melihat di sini ada dua kutub pandangan yang berbeda dalam melihat aspek keadilan. Orang menilai tidak adil karena terkesan mendadak, dan usia yang lebih tua diprioritaskan.

Tentunya orang tua melihat dari sisi bagaimana susahnya mendidik dan mengarahkan putra-putrinya untuk belajar, sementara mungkin orang tua sekitar sekolah (zonasi) malah santai membiarkan anaknya hingga telat sekolah. Sisi terakhir inilah yang dinilai keadilan? Dinas Pendidikan merujuk pada Peraturan Kemendikbud beralasan, tambahan seleksi berdasarkan umur dalam zonasi sudah sesuai dan paling netral serta tidak bisa diintervensi.

Karena itu sejak Kamis (25/6) proses PPDB tetap dilanjutkan meski banyak protes. Dasar rujukan Kemendikbud seperti dikemukakan Plt Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen, Kemendikbud, Hamid Muhammad, kebijakan untuk menggunakan usia sebagai salah satu kriteria seleksi dalam PPDB sudah ada sejak 2017. Aturan itu telah dituangkan ke dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2019.

Dalam ruang ini kita mengusulkan agar ada dialog lebih mendalam soal kriteria umur, terutama tidak hanya dalam perspektif keadilan semata dari sisi Pemerintah Pusat dan DKI, tetapi juga keadilan dari sudut orang tua, siswa, dan masyaarakat umum. Sebab seringkali apa yang disebut 'demi keadilan' belum tentu adil sesungguhnya. Seperti di atas tadi, adilkah memberi 'karpet merah' bagi siswa usianya tua dan telat sekolah dibandingkan calon siswa yang usianya sesuai dan mengikuti tahapan belajar dengan gigih.

Sebelum proses seleksi melalui PPDB berakhir, Pemprov dan Kemendikbud harus memberi ruang dialog dan mencari titik temu. Jika mungkin mengundan pakar dan akademisi, sebab bukan tidak mungkin kebijakan yang dibuat Pemprov maupun Kemendikbud mengandung kelemahan. Buktinya selama ini banyak sekali kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, dan korbannya selalu anak didik.

Dalam konteks ini, calon siswa yang terlempar karena kalah umur. Apalagi saat ini dalam situasi pandemi Covid-19, di mana pemerintah juga banyak mengambil kebijakan di luar kebiasaan, maka aturan PPDB zonasi yang mendasarkan umur juga bisa dievaluasi. Mereka yang umurnya dinilai 'terlalu tua' atau 3 tahun tahun dari umur rata-rata clon siswa SMP atau SMA, bisa disalurkan ke sekolah negeri lain pada gelombang kedua atau setelah tahapan pendaftaran ulang.

Pemrov bisa menjamin ini, dan tidak harus mereka mengalahkan seleksi biasa. Yang perlu kita perhatikan dalam sistem pendidikan nasional adalah bagaimana menghasilan anak didik yang sesuai dengan kurikulum dan jati diri bangsa kita. Selama ini sistem seleksi sudah baik, tetapi belakangan aspek keadilan terlalu ditonjolkan, apakah ini keadilan sesuangguhnya? Kita belum dapat mengatakan demikian karena mungkin saja asepek politik mengikuti kebijakan ini agar terlihat kepala daerah dinilai egaliter.

Dari laporan banyak orang tua dan para guru, seleksi PPDB yang memperbesar zonasi, dan ditambah lagi prioritas umur, bukan tanpa masalah. Tujuan keadilan dalam penerimaan siswa baru akhirnya bercampur aduk antara anakanak yang memiliki kemampuan sangat tinggi dengan yang sangat rendah. Proses belajar-mengajar dan pendidikan bertambah sulit dan guru harus memiliki ekstra kemampuan untuk mentransfer ilmu dan mendidik.

Baca Juga: