Hari masih pagi. Suasana riuh di areal Titik Nol Kilometer, Anyer, Provinsi Banten, sudah terjadi. Nampak pengunjung sedang asyik berfoto dengan latar tugu berbentuk bola dunia dengan tulisan besar Titik Nol. Atau berlatar belakang sebuah mercusuar yang letaknya tidak jauh dari tugu bola dunia tersebut.

Para wisatawan tersebut datang untuk menikmati keindahan pantai Anyer, sambil melihat peninggalan bersejarah. Beberapa di antaranya juga asik mencari ikan dengan memancing di dermaga yang menjorok ke pantai Bojong, Anyer.

Lokasi itu menjadi wisata khusus bagi mayarakat yang meminati sejarah. Sebab di sinilah awal pertama jalan Anyer di ujung Jawa bagian Barat mulai dibangun hingga titik akhir di Panarukan, yang ada di ujung timur Pulau Jawa.

Di kawasan tersebut terdapat sebuah tugu yang menyatakan bekas mercusuar. Bangunan yang hanya berupa bata merah dengan semen telah hancur itu dipajang menjadi tugu di sisi barat dari tugu berbentuk bola dunia.

Tugu ini dibuat untuk mengenang letusan Gunung Krakatau yang ditandatangani Direktur Kenavigasian Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Januari tahun 2017 lalu.

Disebutkan, jika monumen itu merupakan sebagian dari serpihan fondasi menara suar lama akibat dahsyatnya letusan Krakatau pada tahun 1883 dan dibangun kembali pada tahun 1885, tempat baru di mana menara suar baru berdiri. Menara suar baru itu dinamakan menara Cikoneng DSI.226.

Penjaga mercusuar dilokasi baru atau mercusuar Cikoneng mengatakan, saat ini mercusuar itu sudah jarang menjadi rujukan nelayan dalam berlayar ketika hendak melintasi Selat Sunda. Sebab teknologi GPS sudah banyak dipakai. Namun, keberadaannya tetap saja dibutuhkan sebagai antisipasi jika ada kapal yang mengalami kerusakan atau kehilangan sinyal GPS.

Dahulu, jika lampu mercusuar itu mati, kapal nelayan bahkan memilih untuk tidak melintasi Selat Sunda, yang memang dikenal ramai dengan kapal-kapal dagang. Mereka takut bertabrakan atau menabrak karang.

Kontur pantai Selat Sunda, misalnya di Anyer, pantainya jarang yang langsung bertemu dengan hamparan pasir, namun berupa karang-karang terjal. Sangat berbahaya bagi kapal nelayan jika menabrak karang.

Sementara itu, tugu Nol Kilometer dibangun tepat di atas bekas mercusuar yang hancur lebur oleh tsunami saat Krakatau meletus. Monumen itu berupa dua buah tangan besar yang menyanggah bola dunia, terbuat dari tembaga. Bola dunia itu menunjukkan gambar timbul pulau-pulau di Indonesia mulai dari Sumatera hingga Papua.

Di bagian bawah terdapat penjelasan tentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan, dengan kota-kota yang dilintasinya.

Sebuah patok beton menjelaskan gambar pulau Jawa yang berisikan peta rute jalan Anyer-Panarukan yang melewati daerah Anyer, Tangerang, Jakarta, Sumedang, Cianjur, Bandung, Cirebon, Tegal, Kendal, Semarang, Demak, Rembang, Caruban, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan berakhir di Panarukan.

Keberadaan tugu bola dunia itu menjadi daya tarik wisatawan untuk mendatanginya. Dari tugu itu akan terlihat jelas hamparan pantai di ujung Provinsi Banten, dengan pemadangan Gunung Anak Krakatau, menjadi saksi sejarah bahwa dahulu terdapat sebuah gunung yang besar didalam laut yang pernah ada di Indonesia.

Mercusuar 18 Lantai

Mercusuar di kawasan ujung Banten ini jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai belasan bangunan. Salah satunya adalah di Cikoneng. Namun, yang ada di Cikoneng adalah mercusuar baru, meski dibangun tetap pada tahun 1800-an.

Sebelum terkena tsunami akibat letusan Krakatau tahun 1883, mercusuar ini berada di bibir pantai dan dibangun tahun 1806. Tahun 1886, mercusuar kembali dibangun, sekitar 30 meter dari lokasi asal. Mercusuar yang saat ini berdiri di bangun oleh ZM.Willem III yg menjabat sebagai Koning Der Nederlanden di Banten.

Menara Cikoneng terletak di Tanjung Cikoneng, tepatnya di Desa Cikoneng Kecamatan Anyer Kabupaten Serang , Provinsi Banten. Menara suar ini sudah menjadi lokasi wisata andalan Banten bahkan menjadi ikon provinsi ini.

Menara suar ini memiliki luas sekitar 16 ribu meter persegi, memiliki lampu suar yang berasal dari generator sebagai lampu utama dan lampu bertenaga matahari sebagai lampu cadangan. Bangunan menara terbuat dari lempengan baja tebal, mulai dari dindingnya hingga interior di dalamnya, lantai-lantainya pun menggunakan baja. Ada 18 lantai dan memiliki ketinggian sekitar 60 meter dari dasar.

Saat memasukinya, seorang penjaga dengan ramah akan memberikan penjelasan asal muasal dari mercusuar itu. Namun saat Koran Jakarta menyambanginya, penjaga hanya mengizinkan menaiki hingga lantai tiga karena bangunan tua itu sedang dalam pengecatan.

Memasuki lantai dasar, pengunjung akan melihat papan-papan informasi yang menjelaskan tentang sejumlah mercusuar di kawasan tersebut, bukan hanya Mercusuar Cikoneng saja. Ada sebanyak 16 mercusuar yang terletak di sepanjang Selat Sunda dan sekitarnya.

Tangga di dalam untuk menuju ke lantai lebih tinggi juga terbuat dari lempengan baja. Lalu, lantai dua dan seterusnya juga terbuat dari lempengan baja yang cukup tebal sehingga saat menjejakkan kaki, suasa "klang-klang-klang," akan terdengar bising.

Meski sudah berumur dua ratus tahun lebih, bangunan itu masih sangat kokoh, tidak terlihat karat di bangunanya, menunjukkan suar ini terawat dengan baik. Warna putih menjadi warna dominan pada bangunan suar. Dari lantai tiga, rupanya sudah cukup untuk melihat pemandangan pantai dengan cukup luas.

Di puncak suar terdapat lampu suar dengan penutup setengah bola yang bisa berputar 360 derajat. Lampu ini memiliki jangkauan cahaya hingga 20 mil.

Rupanya, saat memasuki kedalam suar ini, pengetahun masyarakat akan bertambah. Ada banyak informasi yang didapat melalui catatan pada papan yang tertempel di dinding bagian dalamnya. Penjaga mercusuar yang ramah juga tidak bosan-bosan untuk memberikan penjelasan.tgh/E-3

Mengenang Peninggalan Deandels

Meski di tempat itu memiliki tugu atau monumen sebagai titik nol pembangunan jalan Anyer-Panarukan, namun jalan aspal pertama yang dibangun oleh Deandels sudah tidak berbekas, hilang bersamaan dengan terjangan tsunami Krakatau. Jalan Anyer yang dibangun pada tahun 1825 ikut hancur akibat letusan tahun 1883.

Melihat catatan beberapa literatur sejarah, Herman Willem Daendels adalah Gubernur Jenderal Hindia belanda ke-36 yang memerintah dari tahun 1808 sampai dengan tahun 1811. Selain membangun rute jalur Batavia-Banten, Pada tahun 1809-1810, Daendels juga membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan yang Jaraknya 1.000 kilometer.

Pembangunan jalan yang kemudian dikenal dengan Jalan Deandels atau Jalan Pos (Pos Weg) bertujuan untuk mempercepat tibanya surat-surat yang dikirim antara Anyer hingga Panarukan atau sebagai jalan pos. Kini, jalan yang dibangun sebagian sudah berubah bahkan rusak dan hilang karena berganti dengan jalur baru.

Pembuatan jalan Deandels saat itu melakukannya dalam dua tahapan, tahap pertama merupakan pembuatan jalan untuk membuka poros Batavia-Banten pada tahun 1808, pada masa itu Daendels memfokuskan kegiatannya pada pembangunan dua pelabuhan di utara (Merak) dan di selatan (Ujung Kulon). Jalur ini melalui garis pantai dari Batavia menuju Carita, Caringin, menembus Gunung Pulosari, Jiput, Menes, Pandeglang, Lebak, hingga Jasinga (Bogor).

Tahap kedua dimulai tahun 1809. Dari Anyer melalui Pandeglang jalan bercabang dua menuju Serang (utara) dan Lebak (selatan). Dari Serang, rute selanjutnya ke Tangerang, Jakarta, Bogor, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang, Cirebon, hingga Panarukan, sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Jalan inilah jalan yang di sebut jalan utama atau jalan protokol, tetapi itu tidak berarti bahwa tidak ada cabang-cabang jalan lainnya yang dilewati oleh Daendels. tgh/E-3

Baca Juga: