Stasiun luar angkasa Tiongkok Tiangong-1 dikabarkan jatuh ke Bumi pada Senin (2/4) sekitar pukul 07.16 WIB. Sebagian besar wahana itu hancur saat memasuki atmosfer dan hanya menyisakan serpihan puing kecil yang diperkirakan jatuh di wilayah perairan Samudra Pasifik Selatan.

Astronom Jonathan McDowell di akun Twitter mengungkapkan bahwa stasiun luar angkasa Tiongkok Tiangong-1 jatuh ke Bumi, sebagian besar wahana itu hancur saat memasuki atmosfer bumi.

Kantor Ruang Angkasa Tiongkok juga mengungkap sebelumnya melalui akun media sosialnya bahwa jatuhnya pesawat ruang angkasa tidak akan menabrak bumi dengan keras selayaknya yang terjadi di film fiksi ilmiah. "Sebagian puing wahana itu terbakar ketika menyentuh atmosfer, namun beberapa puingnya bertahan dan jatuh ke permukaan Bumi berubah menjadi hujan meteor yang luar biasa," terangnya.

Satelit Tiangong-1 merupakan prototipe untuk stasiun luar angkasa pada 2011, dan merupakan salah satu program luar angkasa Tiongkok yang ambisius. Namun Pusat Pengendalian Ruang Angkasa Beijing (BACC) menjelaskan, Tiangong-1 yang diluncurkan pada 29 September 2011 sudah berada di masa akhir tugas pada 16 Maret 2016, setelah tidak memberikan sinyal apa pun ke Bumi.

Akibatnya dikutip dari kantor BCC, stasiun luar angkasa yang memiliki arti 'Istana Surgawi" itu seharusnya dapat keluar dari orbitnya secara terencana. Caranya dengan menggerakkan laboratorium itu menuju zona terpencil di samudra terpencil Bumi. Namun, hal tersebut tak dapat dilakukan usai Tiongkok kehilangan kontrol stasiun luar angkasa yang memiliki sepanjang 10 meter itu.

Untuk mengamati jatuhnya Tiangong-1, sebanyak 13 badan antariksa di bawah pimpinan European Space Agency, menggunakan radar dan pengamatan optik untuk memantau jatuhnya.

Rentang orbit stasiun luar angkasa itu berada pada kisaran 43 derajat Lintang Utara hingga 43 derajat Lintang Selatan. Dengan demikian, orbit Tiangong-1 membentang luas di atas kawasan Amerika Utara, Amerika Selatan, Tiongkok, Timur Tengah, Afrika, Australia, sebagian Eropa, Samudra Pasifik, dan Samudra Atlantik.

Dalam perkiraan BACC sebelumnya stasiun luar angkasa ini jatuh ke Bumi antara 31 Maret hingga 4 April 2018. Namun kabar Tiangong-1 jatuh ke Bumi pada Senin kian menguat. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang turut mengamati jatuhnya Tiangong-1 melalui keteranganya di laman Twitter resminya (@LAPAN_RI) Senin menyebut, Tiangong-1 dinyatakan jatuh di Samudera Pasifik pada hari ini, 2 April 2018 sekitar pukul 07.16 WIB.

Menjelang jatuhnya Tiangong-1, ada perkiraan stasiun luar angkasa ini akan jatuh di wilayah Indonesia, namun dalam pantauan LAPAN, Tiangong-1 mengalami penurunan ketinggian rata-rata sebesar 3,2 kilometer per hari. Pada 1 April, ada pergeseran prakiraan titik jatuh, semula di Pasifik bergeser ke Atlantik, dan diprakirakan terjadi di luar wilayah Indonesia.

Sampah Antariksa

Dalam sebuah pernyataan, ahli fisika antariksa Jonathan McDowell meyakini Tiangong-1 masuk dalam benda terbesar ke-50 yang jatuh ke Bumi secara tak terkendali. "Sebagian besar puing yang terjatuh dan terbakar itu berakhir di tengah lautan jauh dari manusia," kata Dr Elias Aboutanios, Wakil Direktur Pusat Antariksa Australia. Puing-puing itu diarahkan menabrak di lautan yang sulit diakses jauh dari daratan. Itu adalah lokasi di Pasifik Selatan, antara Australia, Selandia Baru dan Amerika Selatan.

Sekadar informasi, Pasifik Selatan, antara Australia, Selandia Baru dan Amerika Selatan, yang memiliki luar sekitar 1.500 km persegi (580 mil persegi) sudah selayaknya kuburan pesawat ruang angkasa dan satelit, di mana sisa-sisa sekitar 260 pesawat ruang angkasa dan satelit diperkirakan tersebar di dasar samudra tersebut.

Kantor PBB untuk Luar Angkasa Luar Negeri (UNOOSA) mengatakan lebih dari 8.000 benda telah diluncurkan ke ruang angkasa, dengan 4.788 saat ini masih mengorbit.

Dalam setiap peluncurannya, juga kerap meninggalkan sampah yang diproduksi, mulai dari pengangkat roket hingga serpihan cat. Pada 2009 satelit komunikasi yang hancur di langit menciptakan ribuan potongan puing-puing kecil yang menghujani Bumi. Dengan beberapa perkiraan, jumlah sampah antariksa adalah ratusan ribu hingga jutaan keping dan kejadian ini hanya menunjukkan beberapa di antaranya.ima/R-1

Bukan Satu-satunya

Tiangong-1 bukan satu-satunya pesawat ruang angkasa yang berpotensi jatuh tidak terkendali ke Bumi. Yang terbesar adalah SkyLab, sebuah stasiun luar angkasa milik Amerika Serikat (AS) seberat 77 ton yang hancur di Australia Barat, pada 1979. Kemudian ada juga beberapa pendaratan tak terkendali baik dari kapal Rusia maupun AS di awal-awal eksplorasi ruang angkasa.

Pada kasus ruang angkasa pertama AS Skylab jatuh ke Bumi secara tidak terkendali, saat itu beberapa serpihan jatuh di area jarang penduduk di Australia. Meski tidak ada kerusakan, AS di denda 400 dolar AS karena nyampah.

Keseluruhan denda itu akhirnya dibayarkan pada 2003 yang dilakukan bukan oleh NASA, tetapi oleh presenter radio AS dan pendengarnya yang mengumpulkan dana.

Sejak saat itu pula menurut Dr William, pakar teknisi dari Aerospace Corporation, sebuah lembaga non-profit yang juga memberi masukan kepada lembaga ruang angkasa dan pertahanan AS, banyak pesawat ruang angkasa berukuran besar telah 'kembali' ke Bumi dengan terkendali. Pada 23 Maret 2001, potongan-potongan Mir, stasiun luar angkasa milik Rusia dengan berat 130 ton jatuh di kawasan selatan Pasifik, yang jadi tempat rongsokan pesawat ruang angkasa.

Dan di masa depan pesawat ruang angkasa ISS, laboratorium penelitian energi mikro dan ruang angkasa di mana awak kapal melakukan eksperimen di bidang biologi, biologi manusia, fisika, astronomi, meteorologi, dan bidang lainnya akan kembali ke Bumi. Menurut keterangan Dr Xiaofeng Wu, Space Engineering dari School of Astronautics, Northwestern Polytechnical University NASA, sejak tiga tahun mereka sudah merencanakannya. "ISS itu sangat besar sekitar 50 kali ukuran Tiangong-1," jelasnya. ima/R-1

Baca Juga: