Proses seleksi Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Periode 2019-2022 mendapatkan sorotan tajam dari publik. Bahkan, sejumlah peserta seleksi calon anggota KPI Pusat Periode 2019-2022 melaporkan adanya dugaan maladministrasi dan cacat hukum kepada Ombudsman RI yang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) Calon Anggota KPI Pusat Periode 2019-2022.
Sejumlah elemen masyarakat juga beramai-ramai meminta informasi publik ke Kementerian Komunikasi dan Informatika RI karena proses seleksi tersebut dinilai tidak transparan dan penuh kejanggalan. Berdasarkan hasil investigasi penulis, sejatinya ada dua masalah hukum yang layak dipersoalkan dalam proses seleksi calon anggota KPI Pusat kali ini.
Pertama, terjadi pelanggaran hukum fatal akibat terbitnya Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika RI No. 798 Tahun 2018 tentang Pansel Calon Anggota KPI Pusat Periode 2019-2022 pada 15 Oktober 2018. Surat Keputusan tersebut menetapkan sebanyak 17 orang yang menjadi Pansel Calon Anggota KPI Pusat Periode 2019-2022.
Mereka adalah: Ahmad M. Ramli (Ketua), Agus Pambagyo, Bambang Wibiwarta, Betti Alisjahbana, Dadang Rahmat Hidayat, Deddy Hermawan, Dewi Motik Pramono, Erry Riyana Hardjapamekas, Masdar Farid Mas'udi, Raden Muhammad Samsudin Dajat Hardjakusumah, Rhenaldi Kasali, Seto Mulyadi, Slamet Rahardjo Djarot, Sujarwanto Rahmat Arifin, Susanto, Yudi Latief, dan Yosep Stanley Adi Prasetyo.
Berdasarkan satu dokumen/ fakta hukum tersebut, telah terjadi tiga pelanggaran hukum berlapis terhadap Peraturan KPI Pusat Nomor 01/P/ KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 10 ayat 1, 3, dan 4. Bahwa dalam Peraturan KPI Pusat Nomor 01/P/ KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 10 ayat 1 dan 4, dinyatakan bahwa pihak yang berhak menyusun, menetapkan, dan menandatangani Surat Keputusan Penetapan Tim Seleksi Pemilihan Anggota KPI Pusat hanyalah DPR RI.
Bukan Menteri Komunikasi dan Informatika RI sebagaimana yang terjadi saat ini. Di samping itu, jumlah Pansel Calon Anggota KPI Pusat Periode 2019-2022 sebanyak 17 orang juga melanggar Peraturan KPI Pusat Nomor 01/P/ KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 10 ayat 3. Dinyatakan bahwa: "Tim seleksi pemilihan anggota KPI Pusat terdiri atas 5 (lima) orang anggota yang dipilih dan ditetapkan oleh DPR RI dengan memperhatikan keterwakilan unsur tokoh masyarakat, akademisi/ kampus, pemerintah, dan KPI Pusat".
Jadi sejak pembentukan di tingkat Pansel Calon Anggota KPI Pusat Periode 2019- 2022 tersebut telah terjadi tiga pelanggaran hukum sekaligus, di mana hal tersebut dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI atas mandat dari DPR RI Komisi 1. Kedua, DPR RI Komisi 1 telah menetapkan sebanyak 34 calon anggota KPI Pusat Periode 2019-2022 (di antaranya 7 petahana) yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI pada 8-10 Juli 2019.
Mereka adalah: Adam Bachtiar, Ade Bujaerimi, Agung Suprio, Ahmad Fajruddin Fatwa, Aswar Hasan, Bambang Hardi Winata, Boyke Priutama, Dadan Saputra, Dayu Padmara Rengganis, Dewi Puspasari, Dewi Setyarini, Dwi Ajeng Widyarini, Hardly Stefano Fenelon Pariela, Ida Bagus Alit Wiratmaja, Imam Wahyudi, Ira Diana, Irsal Ambia, Mayong Suryo Laksono, Mimah Susanti, Mirna Apriyanti, Mochammad Dawud, Mohamad Reza, Mohammad Zamroni, Muhammad Khoirul Anwar, Mulyo Hadi Purnomo, Nadhiroh, Nuning Rodiyah, Prilani, Rando Nadeak, Riyanto Gozali, Satrio Arismunandar, Tita Melia Milyani, Ubaidillah, dan Yuliandre Darwis. Adapun 34 nama orang di atas adalah mereka yang dinyatakan lolos dalam seleksi wawancara di hadapan Pansel pada 4-5 Maret 2019 di Jakarta.
Fakta tersebut sangat jelas bertentangan dengan amanah Peraturan KPI Pusat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 14 ayat 2: "Calon yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan berjumlah 3 (tiga) kali lipat atau minimal 2 (dua) kali lipat dari jumlah anggota KPI Pusat yang akan ditetapkan".
Bahwa sesuai dengan regulasi tersebut, maka jumlah maksimal calon anggota KPI Pusat Periode 2019- 2022 yang berhak mengikuti uji kelayakan dan kepantasan di DPR RI adalah 27 orang saja (berasal dari jumlah anggota KPI Pusat yang sebanyak 9 orang dikalikan 3) atau berjumlah minimal 18 orang.
Keputusan bersama yang ditetapkan oleh Pansel, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dan DPR RI Komisi 1 menetapkan 34 orang berhak mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI, jelas melanggar regulasi di atas. Dalam arsitektur tata perundang- undangan di Indonesia, peta dan kedudukan Peraturan KPI Pusat Nomor 01/P/ KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia, sangat kuat karena mendapat legitimasi eksistensinya melalui Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Pasal 8 ayat 1 dan 2 dan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Bahwa peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang- Undang, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Jika argumentasi hukum yang dibangun oleh Pansel, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, serta DPR RI meloloskan 7 petahana, karena tunduk dan patuh pada Peraturan KPI Pusat Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 13 ayat 8. Maka mengapa mereka sekaligus melanggar terangbenderang Peraturan KPI Pusat Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 10 ayat 1, 3, 4 dan Pasal 14 ayat 2 di atas?
Tidak Konsisten
Ketidakkonsistensian dalam menjalankan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penyiaran oleh tiga pihak sekaligus (Pansel, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, serta Komisi 1 DPR RI) tersebut menjadi indikasi kuat adanya pelanggaran hukum.
Cacat hukum dalam proses seleksi calon anggota KPI Pusat akan menghasilkan produk hukum yang bermasalah hukum di masa kini dan mendatang. Maka DPR RI dengan segala kewenangan yang dimiliki- seharusnya segera membatalkan segala putusan yang telah ditetapkan, agar tidak mendelegitimasikan eksistensi KPI Pusat di mata publik, merugikan materiil dan imateriil seluruh peserta seleksi calon anggota KPI Pusat, dan merugikan uang negara.
Apalagi adanya temuan Ombudsman Republik Indonesia yang telah melaporkan terjadinya empat pelanggaran atau maladministrasi dalam proses seleksi tersebut; namun Komisi 1 DPR RI tetap bersikukuh melanjutkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap 34 calon anggota KPI Pusat yang bermasalah di atas.
Sebagaimana diketahui, Ombudsman RI telah menemukan 4 maladministrasi-sebagaimana ramai terekspos berbagai media. Pertama, Pansel tidak memiliki petunjuk dan teknis yang bersifat final sehingga ada jadwal yang cukup masif dalam proses yang dijalankan Pansel dari jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Di mana adanya penambahan kegiatan yang bersifat masukan dari masyarakat.
Kedua, Pansel tak memberi kesempatan kepada peserta seleksi untuk mengklarifikasi langsung terhadap masukan dari masyarakat, PPATK, dan sebagainya. Ketiga, Pansel tak memiliki parameter jelas dalam meloloskan atau menggugurkan para calon. Keempat, bocornya daftar nama peserta yang lolos seleksi.
Supadiyanto, S.Sos.I., M.I.Kom., Pengamat Dunia Penyiaran dan Kepala Program Studi S1 Ilmu Komunikasi STIKOM Yogyakarta