Judul : Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah

Penulis : Prof Dr Boediono

Penerbit : Mizan

Cetakan : 2016

Tebal : 312 halaman

ISBN : 978 -979- 433- 947-3

Politik dan ekonomi ibarat suami-istri. Anak-anak adalah rakyatnya. Politik mengatur segala yang dipandang bisa menciptakan kesejahteraan keluarga. Karena terkait dengan peraturan harus ada yang diberi kuasa untuk mematenkan aturan dan mengawalnya. Lumrahnya, posisi ini dipegang suami, sedangkan ekonomi terpaut dengan berapa pemasukan yang didapat keluarga. Cukup, kurang, sulit, mudah, dan sistem pembelanjaan biasanya diatur istri.

Jika ekonomi diprioritaskan, kehidupan keluarga tidak seimbang lantaran tiadanya aturan. Kedisiplinan anak-anak kurang perhatian kendatipun kebutuhan sandang pangan terpenuhi, bahkan berlebih. Sebaliknya, bila politik diprioritaskan, kesejahteraan labil lantaran kebutuhan ekonomi kurang diperhatikan.

Begitulah relasai politik dan ekonomi dalam sebuah negara. Masalahnya, siapa yang berkuasa dan menciptakan aturan, merekalah pemegang tampuk kekuasaan politik yang memengaruhi efek positif-negatif pertumbuhan ekonomi negara. Jika penguasa pro rakyat dan memiliki visi kebangsaan, ekonomi akan menyamankan rakyat. Jika tidak, kelihatan secara formal rakyat bekerja dan pembangunan fisik di mana-mana, namun di balik itu banyak warga menderita sebab tidak cukup sandang pangan dari pendapatan.

Sejarah ekonomi Indonesia telah berbicara jelas tentang itu tatkala Verinigde Oost Indische Comagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda, datang lima abad lalu. Saat itu mereka yang memegang kekuatan politik. Karena dasar kolonialisme yang menjadi visi, sistem ekonomi ekstraktif hanya menguntungkan sepihak. Mereka makin kaya, sementara itu, rakyat yang dipekerjakan di tanah sendiri justru semakin menderita (hlm 34).

Parahnya, politik senantiasa disokong kekuatan militer. Belanda ketika eksploitasi ekonomi bertindak licik dengan mengadu domba, mengiming-imingi para tuan tanah, serta mengadakan agresi militer dari skala kecil hingga besar-besaran (hlm 33). Ketika Indonesia merdeka, Orde Lama mencoba mendulukan politik sebagai panglima sehingga kesejahteran rakyat rendah. Orde Baru juga pernah mendulukan ekonomi dengan mamacu laju pembangunan dalam grand design developmentalisme. Ini juga tidak mengangkat taraf kesejahteraan rakyat secara keseluruhan karena kebijakan politik tidak beres. Mereka hanya mementingkan sebagian kecil kroninya dan mempercantik gedung-gedung saja.

Antara politik dan ekonomi harus rukun. Tidak boleh ada jarak lebar, apalagi saling menyubordinasi. Jika saling menegasikan, kesulitan menanti negara dan akan menyengsarakan rakyat. Buku ini menyatakan untuk menyelaraskan keduanya tidak mudah. "Penyesuaian keduanya harus terjadi, dan itu bisa menyakitkan (hlm 271)."

Namun, begitulah tugas pemerintah yang harus senantiasa menyelaraskan keduanya. "Tugas pengelola negara menjaga agar setiap saat kedua sasaran tersebut tidak melenceng terlalu jauh satu sama lain (hlm 272)."

Pemerintah secara aktif menumbuhkan iklim kesempatan, membangkitkan daya mampu, serta kecerdasan masyarakat untuk memahami dan membangun zona equilibirium tonggak ekonomi dan politik. Senantiasa mendasarkan kebijakan pada aspirasi jati-diri bangsa yang disepakati dan harus ditemukan dalam UUD 1945. Ini sebagai manifestasi bangsa untuk merdeka di mana pembukaannya memuat dasar negara yang terangkum dalam Pancasila (hlm 11).

Buku ini berbicara sisi sejarah ekonomi Indonesia sejak masa penjajahan hingga sekarang. Di dalamnya diperkaya tabel pemikiran reflektif sehingga pembaca tidak hanya disajikan data kaku, tanpa nalar kritis. Buku ini mengajak pembaca ikut memikirkan ekonomi Indonesia ke depan.

Diresensi Mamluatul Bariroh, guru anak desa di lereng Bukit Angin Pakandangan Sumenep

Baca Juga: