oleh Arif Budi Rahman

Di tengah dinamika pert u m b u h a n ekonomi yang cukup tinggi dalam beberapa dekade terakhir, ternyata Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan Indonesia masih sangat rendah. BPS mencatat TPAK laki-laki sebesar 83,18 persen, sedangkan perempuan hanya 55,5 persen pada Februari 2019. Kendati angka TPAK perempuan meningkat 0,06 persen poin dari tahun sebelumnya, capaian ini tidak beranjak jauh dari rata-rata 50 persen. Sementara itu, partisipasi pria telah melonjak menjadi lebih dari 80 persen.

Pada saat yang sama, proliferasi ekonomi digital dewasa ini sejatinya menawarkan berbagai peluang meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan perempuan melalui kewirausahaan (entrepreneurship) digital. Tetapi sayang kesenjangan tingkat partisipasi kerja masih begitu lebar.

Dalam komunike G-20 "Empowering Women in the Digital Age," disebutkan, digitalisasi sebenarnya lebih ramah terhadap kaum perempuan. Mereka memiliki keunggulan komparatif berupa keterampilan sosial yang lebih sulit digantikan robot. Jadi, wanita memiliki risiko lebih rendah digantikan mesin daripada pria. Jika keterampilan sosial ini dilengkapi pendidikan memadai dan literasi digital, keunggulan tersebut akan makin kukuh.

Namun, masih ada berbagai kendala yang menghambat kemajuan wanita untuk menangkap aneka peluang di era digital saat ini. Kesenjangan digital gender (gender digital divide), ketimpangan penggunaan teknologi informasi antara pria dan wanita dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya masih sangat lebar.

Kesenjangan jumlah perempuan dibanding laki-laki dalam sektor teknologi informasi juga tidak terlepas dari stereotip keliru bahwa IT adalah dunia laki-laki. Kesenjangan digital ini pada gilirannya berpengaruh terhadap jumlah usahawan perempuan terkait ekonomi digital.

Laporan Komisi Uni Eropa (2018) bertajuk "Women in the Digital Age" tentang ketimpangan gender dalam dunia digital menguatkan temuan bahwa alih-alih menurun, kesenjangan gender justru meningkat dengan digitalisasi ekonomi. Hanya 14,8 persen dari seluruh pendiri usaha rintisan (start-up) di Eropa adalah perempuan.

Jurang digital terjadi bukan semata terhadap akses teknologi, namun juga kurangnya interaksi dan pemanfaatannya. Ini bisa terjadi di antara kaya-miskin, laki-laki-perempuan, dan negara maju-berkembang. Laporan tersebut juga menyebutkan, Eropa memiliki rekor keterlibatan perempuan terendah dalam kewirausahaan rintisan di dunia, 6 persen.

Disebutkan, kesenjangan tersebut tidak terlepas dari ketimpangan antara pria dan wanita dalam pendidikan formal terkait teknologi informasi yang terus meningkat sejak 2011. Dalam kondisi demikian, wanita seringkali tidak memiliki keterampilan dan kapasitas memadai untuk memulai bisnis digital.

Lebih jauh, penelitian OECD (2019) tentang ikhtisar dampak transformasi digital terhadap kehidupan laki-laki dan perempuan menegaskan pula bahwa transformasi tersebut menciptakan kesenjangan gender dalam beberapa dimensi seperti pendidikan, fleksibilitas kerja, kesehatan, interaksi sosial, governance, dan keamanan digital.

Terkait dengan fleksibilitas kerja, misalnya, ternyata pria bisa memanfaatkan teleworking (kerja jarak jauh) lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 20 dan 16 persen. Teleworking memungkinkan fleksibilitas pengaturan waktu, sehingga menjamin kesimbangan antara kerja dan aktivitas sosial. Kerja seperti ini juga menghemat waktu dan mereduksi alokasi perjalanan ke dan dari kantor.

Dalam konteks globalisasi yang didorong perkembangan teknologi informasi dewasa ini, tidak ada jaminan bahwa kesenjangan dan hubungan asimetris antara negara-negara kaya dan miskin juga akan berkurang. Memang, ada kekhawatiran, kesenjangan digital hanya akan memperburuk ketimpangan ekonomi. Akhirnya, akan meningkatkan ke tegangan sosial. Ada kegamangan, hanya sebagian kecil warga dunia yang bakal menangguk keuntungan.

Patriarkal

Bagi kaum perempuan baik di negara maju maupun berkembang yang secara tradisional memiliki sistem patriarkal, ada kemungkinan akan sangat dirugikan baik dari sisi akses maupun kontrol terhadap industri ekonomi digital. Dengan kata lain, ekonomi digital bak pisau bermata dua: sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan memperlebar kesenjangan.

Apakah digitalisasi akan menggerus atau memperluas kesenjangan gender di era ekonomi digital akan sangat tergantung pada pembuatan kebijakan. Ini perlu upaya serius. Memberi perempuan akses lebih besar ke teknologi digital merupakan titik pijak awal guna meminimalkan kesenjangan gender dan partisipasi kerja. Dalam jangka pendek, lokakarya atau pelatihan perlu dilakukan agar mampu beradaptasi dengan digitalisasi ekonomi.

Program jangka panjang yang perlu mendapat atensi, mengikis jurang ketimpangan pendidikan terutama terkait science, technology, engineering, mathematics). Sebuah penelitian yang diinisiasi OECD dan ASEAN (2017) memaparkan temuan, di Asia Tenggara, kaum perempuan lebih cenderung memilih fakultas ilmu sosial, humaniora, dan kependidikan ketimbang sains serta enginering. Beruntunglah menurut laporan tersebut, di Indonesia jumlah sarjana perempuan bidang sains masih be rimbang dengan pria.

Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), ketersediaan sumber daya manusia masih sangat minim untuk mendukung perekonomian digital. Antara tahun 2015 dan 2030, Menkominfo memperkirakan ada jurang antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja digital 9 juta karena tidak ada padu padan lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan industri.

Linier dengan investasi SDM dalam sistem pendidikan, pengembangan digital entrepreneurship bagi kaum perempuan juga patut dipertimbangkan. Kewirausahaan digital memberikan fleksibilitas dunia kerja dan urusan rumah tangga. Dia juga menawarkan solusi diskriminasi perempuan di dunia kerja reguler.

Harus diakui, hambatan bagi kerterlibatan kaum wanita dalam wirausaha digital termasuk e-dagang masih begitu besar. Selain akses modal dan inklusi keuangan, rendahnya literasi digital juga menyebabkan kesulitan memanfaatkan platform digital tersebut.

Perempuan banyak hadir di bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Diperkirakan 60 persen di antara 58 juta UMKM dijalanakan kaum perempuan. Meningkatkan daya saing dan produktivitas UMKM melalui kanal e-dagang, misalnya, diharapkan dapat menaikkan ekonomi masyarakat dan memotong mata rantai kemiskinan. Penulis Alumnus Curtin University, Perth, Australia

Baca Juga: