Adakalanya, kalangan disabilitas belum sepenuhnya diterima masyarakat. Perbedaan kondisi fisik maupun mental kerap kali ditanggapi sebagai pemisahnya. Komunitas Pandulisane berupaya memberikan wadah untuk kalangan disabilitas dan non disabilitas saling bersosialisasi untuk memecah "tembok" diantara keduanya.
Upaya tersebut tidak lain lantaran masih banyak kalangan disabilitas yang mendapatkan tanggapan gamang dari masyarakat. Padahal, mereka tak ubahnya manusia pada umumnya yang memiliki cipta, rasa dan karya. Wadah sebagai ruang bersosialisasi dianggap mampu memecah "tembok" antara penyandang disabilitas dan nondisabilitas. Pandulisane menjembatani pertemuan antara kalangan disabilitas dan nondisabilitas.
Untuk penyandang disabilitas, mereka mengutamakan kalangan disabilitas tuli, netra dan daksa. "Kita kasih ruang inklusif teman disabilitas dan nondisabilitas berinteraksi," ujar Arya Adhi Nugraha Lazuardi, Ketua Komunitas Panduliane yang dihubungi, Selasa (31/3).
Dia beranggapan ruang interaksi ini penting untuk memecah jurang antara kalangan disabilitas dan nondisabilitas. "Karena di luar sana, banyak masyarakat yang takut untuk berinteraksi dengan teman disabilitas," ujar dia. Komunitas menjembatani supaya sosialisasi para disabilitas dan nondisabilitas menjadi lebih cair.
Dengan harapan, ada kepedulian terhadap kalangan disabilitas. Kegiatan ngobrol-ngobrol santai merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memecah "jurang pemisah" tersebut. Mereka bisa saling mengenal satu dengan yang lainnya dalam obrolan ringan. Kegiatan lainnya berupa marketibility. Kegiatan ini berupa bazar yang diikuti para disabilitas maupun nondisabilitas.
Mereka banyak menjajakan aneka makanan minuman serta handicraft. Kegiatan marketibility yang diadakan pada Februari lalu mampu melampaui ekspektasi. Selama kegiatan, komunitas melakukan random interview untuk mengetahui animo peserta. Ternyata, mereka datang ke bazar untuk mendapatkan perspektif dan pengalaman baru bersosialisasi dengan para penyandang disabilitas maupun nondisabilitas. Alhasil dari random interview tersebut dapat menjadi tolak ukur bahwa baik dari kalangan disabilitas maupun nondisabilitas memiliki keinginan untuk bersosialisasi bersama-sama. Upaya lain untuk mencairkan antara disabilitas dan nondisabilitas dilakukan dengan kegiatan Speak Disability Academy.
Kegiatan tersebut merupakan pembelajaran untuk kalangan disabilitas terkait berbagai ketrampilan. Supaya, para disabilitas yang "semakin sejajar" dengan nondisabilitas. Seperti dalam kegiatan marketibility yang digelar ada Februari, pembaca acara dalam kegiatan tersebut merupakan disabilitas netra. Setahun sebelumnya, Pandulisane melakukan kegiatan serupa untuk kalangan tuli.
Mereka membuka kelas bahasa isyarat dasar. Dalam kegiatan tersebut, mereka banyak berkolaborasi dengan komunitas maupun organisasi. Sedangkan untuk pertengahan sampai akhir tahun nanti, mereka akan membuka kelas yang ditujukan untuk Tuna Daksa dengan memberikan edukasi digital marketing. Pandulisane merupakan komunitas yang didirikan Pandu Wicaksono pada Mei 2018.
Namun, komunitas yang berawal sebagai kelas inkubasi baru mulai aktif berkegiatan pada Februari 2019. Dalam setiap kegiatannya, komunitas berupaya menjembatani kalangan disabilitas dan nondisabilitas untuk saling berinteraksi sehingga mampu merobohkan "tembok" perbedaan yang selama ini kerap muncul di masyarakat.
Bertanya Dahulu sebelum Membantu
Para disabilitas yang memiliki kondisi terbatas kerap mengundang rasa iba. Berbagai pertolongan pun ditawarkan sekadar untuk membantu memudahkan mobilisasi. Namun maksud hati tersebut tidak selalu berbanding lurus, pertolongan yang diberikan kerapkali malah merepotkan gerak para penyandang disabilitas.
Hal tersebut lantaran, banyak kalangan yang belum memahami cara memberikan pertolongan yang tepat. Pertolongan yang tepat tersebutlah yang masih kurang dipahami masyarakat. Karena memberikan pertolongan pada penyandang disabilitas tidak sekedar membantu mobilisasinya namun yang lebih penting memahami keteratasannya. Jika tidak tepat, mereka malah bisa cedera atau kurang nyaman.
Arya Adhi Nugraha Lazuardi, Ketua Komunitas Pandulisane mengatakan sebelum memberikan pertolongan ada baiknya untuk menanyakan terlebih dahulu pada yang bersangkutan.
"Pandulisane menegaskan hal pertama adalah menanyakan," ujarnya.
Seperti pada penyandang tuna netra, penyandang yang kerap membawa tongkat untuk membantu mobilitasnya sering mendapatkan bentuk pertolongan yang tidak tepat.
Karena, orang yang akan membantu berjalan tidak menanyakan terlebih dahulu bentuk pertolongan yang sesuai. Adakalanya, orang yang ingin menolong langsung menarik tongkat untuk memudahkan berjalan.
"Padahal semestinya, penyandang tuna netra memegang bahu atau tangan pada orang yang menolongnya," ujar dia. din/R-1