Penyakit lassa fever atau demam lassa yang berasal dari virus Lassa (LASV) masih menjadi momok bagi warga Nigeria. Ini dikarenakan virus mematikan tersebut dilaporkan telah menginfeksi 100.000 hingga 300.000 orang di Afrika Barat setiap tahunnya, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika.

Salah satu pasien yang terpapar virus Lassa bernama Victory Ovuoreoyen (48) berpikir itu merupakan akhir hidupnya. Ovuoreoyen yang berprofesi sebagai pedagang itu hampir tidak bisa berjalan dan takut penyakit itu merenggut nyawanya ketika dirawat di Pusat Medis Federal di kota Owo di barat daya Nigeria.

Ovuoreoyen merasakan gejala demam, muntah, hingga diare parah. Namun, setelah empat hari di bangsal isolasi, ia bisa duduk tegak kembali di ranjang rumah sakit.

"Sebelum saya jatuh sakit, saya tidak bisa melihat tulang saya seperti ini. Saya kehilangan banyak berat badan," katanya, menunjuk pada tulang selangkanya, dikutip dari Aljazeera, Senin (22/8).

Dokter telah meyakinkan pria berusia 48 tahun itu bahwa dia akan pulih dari penyakit hemoragik akut yang mirip dengan Ebola itu.

Sementara itu, sebanyak 80 persen dari mereka yang terinfeksi demam Lassa tidak mengalami gejala parah, bahkan sebagian besar kasus tidak terdiagnosis. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan, tingkat kematian pasien yang berakhir di rumah sakit mencapai 15 persen.

Masa inkubasi penyakit tersebut terjadi antara 2-21 hari, gejala yang parah dapat mulai muncul seminggu setelah sakit. Namun saat itu mungkin sudah terlambat bagi pasien.

Demam Lassa menurunkan jumlah trombosit dalam darah dan kemampuannya untuk menggumpal, yang menyebabkan pendarahan internal. Kegagalan organ yang fatal dapat terjadi dalam beberapa hari.

Gejala awal demam Lassa termasuk sakit kepala dan otot, sakit tenggorokan, mual dan demam. Awalnya, gejala tersebut tidak bisa dibedakan dari gejala malaria, penyakit umum di wilayah tersebut.

Laboratorium rumah sakit di Owo ini adalah satu-satunya di negara bagian yang melakukan tes darah diagnostik Lassa dan hasilnya baru tersedia setelah dua hari. Hal tersebut sering menyebabkan demam Lassa baru ditemukan pada tahap akhir, yang membuatnya lebih sulit untuk diobati.

Owo, pusat pertanian yang jaraknya 300 kilometer dari kota Abuja di Nigeria, merupakan pusat wabah Lassa yang dimulai pada awal tahun ini, menyebabkan lebih dari 160 kematian. Kala puncaknya pada Maret, 38 tempat tidur di bangsal isolasi tidak mencukupi dan 10 tempat tidur tambahan ditambahkan untuk kasus yang dicurigai.

Di bagian Nigeria ini, orang lebih takut pada virus Lassa dibandingkan dengan virus Corona. Ondo, negara bagian tempat Owo berada, sejak tahun 2020 mencatat 171 kematian yang disebabkan oleh Lassa, dibandingkan 85 kasus karena Covid-19, menurut Pusat Penelitian dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit tersebut.

Meskipun kehadirannya tersebar luas di Afrika Barat, penyakit tersebut masih sedikit diketahui di sebagian besar dunia. Virus tersebut ditemukan pada tahun 1969 di kota Lassa, Nigeria utara, sekitar 1.000 km dari Owo.

Sejak itu, Lassa telah menjadi endemik di setidaknya lima negara di Afrika Barat. Nigeria, negara terpadat di Afrika, mencatat jumlah kasus tertinggi, hingga 1.000 per tahun. Tahun ini, pada bulan Januari saja, Nigeria mencatat 211 kasus yang dikonfirmasi, 40 pasien di antaranya meninggal dunia.

Orang yang terinfeksi dapat menginfeksi orang lain melalui cairan tubuh. Demam sering menyebabkan keguguran dan dapat ditularkan dari ibu ke bayi. Bahkan, virus ini juga ditemukan dalam ASI hingga enam bulan.

Seperti virus lain yang menyebabkan demam berdarah yang belum ada obatnya dan mudah berkembang biak, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa virus Lassa dapat digunakan sebagai senjata biologis.

Baca Juga: