Tujuh orang polisi tewas dalam serangan bahan peledak di Kolombia barat pada hari Jumat (2/9). Menjadikannya serangan paling mematikan terhadap pasukan keamanan sejak Presiden Gustavo Petro menjabat dan berjanji untuk mengakhiri konflik berusia hampir 60 tahun di negara itu.
Kantor berita Reuters menuturkan, Petro yang merupakan mantan anggota gerilyawan M-19, telah berjanji untuk mencari "perdamaian total" dengan memulai kembali pembicaraan dengan pemberontak sayap kiri Tentara Pembebasan Nasional (ELN).
Pad 2016, Petro menerapkan perjanjian damai 2016 kepada mantan pejuang gerilya Pasukan Revolusioner Kolombia (FARC) yang menolaknya, dan merundingkan penyerahan geng kejahatan sebagai jaminan pengurangan hukuman.
"Saya dengan tegas menolak serangan dengan bahan peledak di San Luis, Huila," kata Petro di Twitter.
"Tindakan ini jelas merupakan sabotase terhadap perdamaian total," ujarnya.
Kantor polisi dan jaksa agung nasional pada Jumat malam melaporkan tujuh petugas kepolisian, termasuk tiga berusia 20 tahun ke bawah, tewas dan satu terluka.
Para korban diketahui sedang meninggalkan acara sosial di wilayah barat daya Huila Kolombia ketika ledakan terjadi. Kendaraan yang ditumpangi para pejabat itu terkena bahan peledak.
seorang juru bicara polisi menuturkan mereka kemudian ditembak mati dalam serangan penyergapan.
Petro melakukan perjalanan ke ibukota regional Neiva dengan menteri pertahanan dan pejabat lainnya untuk pertemuan keamanan setelah serangan itu.
Ia menyebutkan nama pelaku serangan itu, tetapi para pembangkang dari pemberontak FARC dilaporkan masih beroperasi di daerah itu.
Kelompok-kelompok pembangkang menolak kesepakatan damai yang dirundingkan oleh mantan pemimpin mereka dan mengklaim memiliki sekitar 2.400 pejuang tempur.
Beberapa komandan pembangkang terkenal telah tewas baru-baru ini.
Konflik Kolombia antara pemerintah, gerilyawan kiri, paramiliter sayap kanan, dan geng penyelundup narkoba menewaskan sedikitnya 450.000 orang antara tahun 1985 dan 2018 saja.