Komunitas Ngopi Jakarta atau Ngojak mengajak masyarakat yang ingin mengenal Jakarta lebih dekat dengan menelusuri perkampungan di Jakarta.

Jakarta tak hanya bangunan landmark yang populer dan terkenal dibanding kota-kota lain di penjuru nusantara. Jakarta adalah kota budaya. Jakarta menyimpan kebudayaan, sejarah bangsa hingga menjadi tempat masyarakat urban yang tersebar di sudut perkampungan kota.

Sebuah komunitas "memotret kehidupan" Jakarta secara lebih dekat dan detail. Ngopi Jakarta (Ngojak), adalah kumpulan penggiat jalanjalan di Jakarta yang berupaya mengenal Jakarta secara lebih dekat.

Dengan menyusuri perkampungan di ibukota, banyak informasi yang didapat secara langsung. Mulai sejarah kota, budaya hingga soal tentang profil dan harapan masyarakat urban di Jakarta, dapat diketahui secara cermat.

Masyarakat urban merupakan bagian dari penduduk kota yang mulai puluhan tahun lalu hingga saat ini mencari nafkah di Jakarta. Ngojak bisa memotret beragam kisah tentang Jakarta dan penghuninya.

Seperti penjaja kopi kelilingan di daerah Sudirman dan Thamrin, yang memiliki base camp dibilangan Senen, Jakarta Pusat. Tempat ini berdekatan dengan salah satu hotel bintang yang kerap membuang limbahnya ke kali. Atau keturunan Pencak Silat Kwitang di daerah Kwitang, sekitar Senen, Jakarta.

Informasi-informasi tersebutlah yang dapat diperoleh dengan menyurusi ibukota sambil berjalan kaki. "Ngojak berbeda. Kalau biasanya (wisatawan) instagramble, kita belajar untuk mengetahui mengapa bangunan arsitekturnya seperti ini," ujar Ali Zaenal, pendiri Ngojak, tentang jalanjalan telusur kota yang ditemui dibilangan Depok, Jawa Barat, Rabu (10/4).

Ngojak mengajak masyarakat yang ingin mengenal Jakarta lebih dekat dengan menelusuri perkampungan di sekitar ibukota. Mereka mengambil benang merah dengan menelusuri bantara Sungai Ciliwung. Pasalnya, sungai tersebut menyimpan banyak sejarah, salah satunya sebagai benteng alam sejak jaman Pajajaran.

Sungai yang berhulu di kawasan Cisarua, Jawa Barat ini, membelah wilayah kota Jakarta sebagai daerah yang dilewati aliran sungai. Berbagai peradapan bermunculan di sekitar sungai sebagai daerah persinggahan. Daerah yang menjadi persinggahan pun menyimpan sejarah. Salah satunya, Condet. Hingga saat ini, Ngojak sudah melakukan perjalanan menuju ke 20 kali pada Sabtu (13/4) ini. Mereka menggali sejarah di sepanjang sungai. Perjalanan yang dimulai sekitar pukul 08.00 WIB akan berakhir pada sore harinya.

"Karena, kita tidak membatasi orang untuk belajar. Mereka bertemu orang lokal, terserah mau bertanya apa saja," ujar laki-laki asal Bogor ini.

Supaya para peserta tidak buta dengan daerah yang akan dikunjungi, biasanya sekitar tiga hari sebelum hari H, ada informasi sejarah mengenai daerah yang akan dikunjungi melalui pesan yang tersebar dalam jejaringan komunikasi. Hal ini supaya memudahkan pemahaman, pada hari H pun ada anggota Ngojak yang menjelaskan daerah yang tengah dikunjungi secara singkat.

Di akhir perjalanan, mereka akan berkumpul untuk tukar informasi mengenai pengalaman perjalanan yang baru saja dilakukan sembari menikmati minuman hangat. Masing-masing peserta dapat bertukar informasi tentang pengalaman yang baru saja diperoleh. "Jadi amat disayangkan kalau di tengah perjalanan, ada peserta pulang duluan," ujar dia.

Dalam melakukan kegiatan jalan-jalan ini, Ngojak memiliki filosofi empat sehat lima sempurna. Filosofi tersebut merupakan pengungkapan dari matahari, jalan kaki, air putih, senyum dan sempurna. Sempurna dimaksudkan jika bertemu dengan penduduk lokal yang memiliki pengetahuan sejarah atau keturunan pelaku sejarah di daerah setempat.

Pengumpamaan filosofi tersebut bukan tanpa alasan. Lantaran jarak tempuh yang dilakukan terbilang cukup jauh. Sebagai gambaran, Ngojak Volume ke 20 nanti akan dilakukan dengan titik kumpul di Halte Busway Harmoni lalu menyusuri Jalan Gajah Mada, Jakarta.

Ngojak berawal dari obrolan Ali dan Irfan Teguh di warung kopi di bilangan Senayan, Jakarta beberapa tahun silam. Mereka mengungkapkan keresahan bahwa jalan-jalan di Jakarta selalu identik dengan wisata landmark, seperti Monas, Kota Tua, Taman Mini Indonesia Indah, dan sebagainya.

Padahal, Jakarta adalah tempat kumpulan para perantau. Jika pulang kampung, mereka ingin menceritakan berbagai kehidupan kota selain landmark yang populer. Jadilah pada November 2013, Ali dan Irfan membuat blog yang berisikan cerita tentang kehidupan kota, seperti kemacetan, hujan yang selalu membuat galau warga kota, transjakarta dan sebagai.

Kemudian, pada Agustus 2016, Ali menkonversikan cerita Ngojak di online menjadi kegiatan offline dalam sebuah kegiatan jalan-jalan. Sampai saat ini, Ngojak jalan-jalan selalu ramai peminat yang ingin melihat Jakarta dari sisi berbeda dari jarak yang lebih dekat. din/E-6

Menikmati Berjalan Kaki Menyusuri Setiap Sudut Kota

Ngopi Jakarta (Ngojak) melakukan kegiatan jalan-jalan ke seluruh penjuru kota Jakarta dengan jarak tempuh tergolong jauh, kurang lebih 5 kilometer berjalan kaki. Untuk itu, para peserta perlu membutuhkan persiapan khusus supaya tidak kehabisan tenaga selama perjalanan.

Adi Setiadi Nugraha, 34, karyawan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mengaku selalu tidur cukup sebelum mengikuti perjalanan menyusuri Jakarta. "Istirahat yang cukup pada malam sebelumnya," ujar dia.

Tidak hanya itu, pria yang ikut kegiatan Ngojak sejak Maret 2017 ini melengkapi persiapan diri dengan sarapan serta membawa bekal minum di dalam tumbler. Agar perjalanan lebih nyaman, dia mengolesi kulitnya dengan sunblok atau membawa payung, kacamata hitam, alas kaki yang nyaman serta handuk kecil.

Berpikiran terbuka menjadi salah satu bekal sebelum perjalanan. "Agar, kita bisa menyerap pengetahuan baru," ujar dia. Tujuannya tidak lain supaya tidak ada penolakan dalam diri saat memperoleh pengetahuan selama perjalanan. Sebagai contoh, kegiatan Ngojak banyak mengunjungi tempat ibadah dari berbagai macam agama. Kalau dari sedari awal terdapat penolakan, maka peserta tidak dapat menikmati perjalanan.

Tak lupa, laki-laki perantauan dari Pandeglang, Banten, tersebut selalu menyiapkan hati riang gembira selama perjalanan. "Karena, kalau sudah senang dan riang gembira, matahari yang terik pun akan terasa hangat," ujar dia terbahak.

Kiky Pricilla Dwi Putri, 21, karyawan dan mahasiswa memiliki persiapan serupa. Hanya, dia menyikapi periapan jalan-jalan lebih sederhana ketimbang Adi. Yang terpenting bagi Kiky adalah menjaga kesehatan.

"Karena, jalan kaki lumayan jaraknya, pasti bakal bikin drop atau kaget bagi orang yang sakit atau tidak terbiasa jalan jauh," ujar dia.

Bagi Kiky, Ngojak jalanjalan menjadi peluang untuk melihat kota tempat tinggalnya secara lebih dekat. Ia baru menyadari bahwa Jakarta tidak hanya Monas dan Lapangan Banteng, namun ada pemandangan lainnya.

"Dibalik megahnya ibukota, banyak orang kampung yang ingin ke Jakarta mencari peruntungan," ujar dia. Ternyata, Jakarta menyimpan banyak cerita kehidupan. din/E-6

Menggali Cerita dari Warga Lokal

Jalan-jalan menyusuri "pelosok"Jakarta dan sekitarnya tidak sekadar menikmati daerah tujuan. Bertemu masyarakat setempat menjadi pengalaman yang tidak kalah menarik.

Pasalnya dari merekalah, para penggiat jalan-jalan memperoleh informasi menganai sejarah, langsung dari sumbernya atau pelakunya.

Seperti ketika mengunjungi Gedung Wayang Bharata di daerah Senen, Jakarta Pusat. Di daerah gedung yang pernah menjadi pertunjukkan Srimulat, para penggiat bertemu denan seniman-seniman tua yang masih tinggal di daerah tersebut.

"Kita datang, mereka senang," ujar Ali. Pasalnya, jarang sekali orang yang secara khusus datang ke tempat tersebut. Kedatangan para penggiat jalan-jalan menjadi bentuk perhatian terhadap seniman-seniman yang keberadaan hampir tidak pernah dilirik masyarakat lagi.

Berbedalagi dengan daerah di Karadenan Kaum, Cibinong, Jawa Barat, satu kampung di daerah tersebut memiliki gelar raden. Dari warga setempat, mereka mendapatkan informasi tentang ada nasab silsilah yang memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad SAW.

Belum lagi asal usul wilayah, sebut saja daerah Manggarai, Jakarta, wilayah tersebut dahulunya merupakan pertemuan kaum budak yang menjual kuda. Untuk memenuhi rumput sebagai pakan kuda, mereka membeli di pasar rumput yang saat ini telah berubah menjadi gedung komersial.

Ali mengatakan selama menyusuri kota, ia dan teman- temannya hampir tidak mendapatkan penolakkan dari warga setempat. Justru, mereka menerima dengan tangan terbuka dan memberikan informasi sejarah yang terdapat di wilayah tersebut.

Beberapa daerah tergolong sensitif, seperti kampung kopi. Kampung tempat mangkal penjaja kopi keliling. Pasalnya di sekitar daerah tersebut terdapat hotel berbintang yang membuang limbahnya ke kali.

Ali dan teman-temannya memilih tidak mengabadikan gambar secara detail untuk menghindari gesekan. Aktivitas penjaja yang mencuci termos maupun mengisi air hanya terekam dalam ingatan.

Beberapa daerah ada yang mensyaratkan surat menyurat sebagai kelengkapan administrasi. Selebihnya, para penggiat jalan-jalan diberikan keleluasaan untuk menelusuri ibukota dan sekitar dari jarak dekat. Masyarakat malah menjadi sumber informasi pertama mengenail wilayah tempat tinggalnya. din/E-6

Baca Juga: