Tindakan intoleransi yang terjadi di sekolah harus segera ditangani. Jika tidak, sekolah akan menjadi ladang subur benih-benih radikalisme di masa depan.
Lembaga pendidikan idealnya menjadi ruang yang memungkinkan terjadinya pertemuan dari berbagai perbedaan. Selain itu, baik sekolah atau kampus bisa menjadi medium bagi jalinan relasi sosial, tanpa harus dibayang-bayangi prasangka.
Tapi, pada kenyataannya, saat ini dunia pendidikan sering menjadi ladang persemaian sikap-sikap intoleransi dan paham radikal. Padahal sikap dan paham tersebut dapat merusak sendi-sendi kehidupan bangsa.
Kasus terbaru intoleransi dunia pendidikan terjadi di SMK Negeri 2 Padang, Sumbar. Orang tua siswi bernama Jeni Cahyani Hia, dipanggil sekolah karena anaknya tidak mengenakan jilbab. Dalam video yang viral, ElianuHia, ayah Jeni, mengatakan, sebagai siswi nonmuslim cukup terganggu jika dipaksakan mengenakan jilbab.
"Bagaimana rasanya kalau anak Bapak dipaksa untuk ikut aturan yayasan? Kalau yayasan tidak apa, ini kan (sekolah) negeri," kata Elianu pada video di akun Facebook yang viral pada Jumat (22/1).
Dalam perdebatan itu, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Zakri Zaini, berdalih penggunaan jilbab merupakan aturan sekolah. "Menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah, kalau ada anak yang tidak ikut peraturan sekolah. Kan di awal kita sudah sepakat," katanya dalam video.
Anehnya lagi, di sekolah tersebut 46 siswi nonmuslim yang mengenakan jilbab. Kepala Sekolah SMKN 2 Padang, Rusmadi, mengatakan, "Semuanya (kecuali JC) mengenakan kerudung seperti teman-temannya yang muslim. Senin sampai Kamis, anak-anak tetap menggunakan kerudung, walaupun nonmuslim," kata Rusmadi.
Tindakan intoleransi pernah terjadi juga di SMAN 68 Ciracas Jakarta Timur pada Oktober 2020. Seorang guru bernama Tini Suharyatimelalui pesan WhatsApp mengarahkan muridnya agar tidak memilih pasangan calon ketua OSIS 1 dan 2 karena nonmuslim.
"Assalamualaikum...hati2 memilih ketua OSIS Paslon 1 dan 2 Calon non Islam...jd ttp walau bagaimana kita mayoritas hrs punya ketua yg se Aqidah dgn kita," kata Tini. "Mohon doa dan dukungannya untuk Paslon 3, Mohon doa dan dukungannya utk Paslon 3, Awas Rohis jgn ada yg jd pengkhianat ya," ujar dia.
Intoleransi di sekolah bukan hanya kepada penganut agama lain. Siswi SMA Negeri 1 Gemolong, Sragen, dengan inisial Z mendapatkan pesan WhatsApp yang terus-menerus dari salah satu pengurus rohani Islam (rohis) di sekolahnya pada September 2019. Pesan-pesan tersebut isinya meminta Z untuk segera mengenakan jilbab.
Setelah nomor kontak diblokir, pesan tetap dikirim melalui temannya. Pesan yang paling serius berupa penghinaan terhadaporang tua Z, Agung Purnomo. Meski pihak sekolah telah pengurus rohis pelaku teror dengan orang tua Z, namun tindakan yang dilakukan membuat Z trauma. Ia bahkan sempat tidak berani kembali masuk ke sekolah.
Pelanggaran HAM
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, memaksa seseorang menggunakan jilbab termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Peserta didik tidak boleh dipaksa mencopot maupun mengenakan jilbab.
"Aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan, apalagi di sekolah negeri. Melarang peserta didik berjilbab jelas melanggar HAM. Demikian juga, memaksa peserta didik berjilbab juga melanggar HAM," kata Retno.
Padahal dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sudah jelas diatur bahwa tidak ada kewajiban model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.
"Sekolah negeri adalah milik pemerintah yang siswanya beragam atau majemuk. Oleh karena itu, sekolah negeri harusnya menyemai keberagaman, menerima perbedaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM," jelasnya.
Sanksi Tegas
Atas kejadian di SMKN 2 Padang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menegaskan intoleransi atas keberagaman terutama di lingkungan pendidikan, tidak bisa dibenarkan. Toleransi keberagamaan harus terlihat mulai dari cara berpakaian di satuan pendidikan.
"Dalam Pasal 3 ayat 4 Peraturan Mendikbud No45 Tahun 2014 menyatakan sekolah wajib memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing dalam berpakaian," kata Nadiem.
Nadiem meminta Pemerintah Daerah Kota Padang untuk memberi sanksi kepada pihak yang terlibat dalam tindakan intoleransi. "Saya meminta Pemda sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini jadi pembelajaran kita bersama ke depan," jelasnya.
Untuk mencegah terulangnya kembali hal serupa di sekolah-sekolah lain Kemendikbud akan membuat layanan pengaduan darurat berupa hotline. Layanan semacam ini berupa sebuah jaringan komunikasi langsung ke sebuah tempat yang dituju tanpa tindakan tambahan apa pun.
Sudah waktunya pemerintah mengembalikan sekolah pada tujuan pokoknya yaitu pendidikan. Sekolah mendidik manusia agar menjadi utuh secara pengetahuan dan moral. Maka, pesan-pesan intoleransi tidak layak ada di sekolah. Bersihkan sekolah dari penanam-penanam benih-benih intoleran.
Jika dari sekolah sudah ditanamkan eksklusivitas, intoleran, mustahil akan lahir manusia Indonesia yang inklusif, toleran, serta menerima keberagaman dan kebinekaan. hay/G-1