oleh sivana khamdi syukria
Sebagai negara muslim terbesar dunia, Idul Kurban menjadi salah satu momen tahunan yang ditunggu-tunggu. Bagi muslim yang mampu, Idul Adha adalah momen paling tepat untuk berbagi pada sesama. Sedangkan bagi mereka yang kurang mampu sebagai waktu membahagiakan. Inilah momen ketika banyak muslim berwajah sumringah setelah menerima sekantung daging kurban. Ibadah kurban mengandung dimensi teologis, sosial, dan ekonomi. Dari sisi teologis, kurban sarana mendekatkan diri pada Allah.
Dari sisi sosial, kurban bermanfaat menumbuhkan solidaritas kemanusiaan yang mulai lemah. Sementara itu, secara ekonomi, kurban mampu menjadi instrumen pengentasan kemiskinan. Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk miskin terbesar dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2019 jumlah penduduk miskin mencapai 25,14 juta jiwa.
Maka, penting agar aktivitas ibadah kurban dikelola secara profesional dan maksimal agar memberi insentif ekonomi serta berkontribusi positif pada penurunan angka kemiskinan. Data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menunjukkan, setiap tahun tidak kurang dari 70 triliun rupiah berputar selama pelaksanaan kurban. Sedang kementan memperkirakan tahun ini ada 1,3 juta ekor hewan akan dipotong. Mereka terdiri dari 376.500 sapi, 13.000 kerbau, 716.000 kambing, dan 242.000 domba.
Jumlah itu setara dengan 2,9 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. Jumlah dana berputar dalam pelaksanaan kurban diperkirakan terus meningkat. Asumsi itu dilandasi setidaknya eningkatnya kesadaran warga melaksanakan kurban.
Hal ini bisa dilihat dari masifnya penggunaan pakaian muslim di ruang publik. Juga meningkatnya konsumsi produk barang atau jasa berlabel halal mulai kosmetik, salon, laundry sampai hotel. Tren kenaikan serupa juga terjadi dalam konteks kurban. Setiap tahun, permintaah hewan kurban naik sekitar 3-5 persen. Tahun 2018 tercatat 1,5 juta ekor hewan kurban disembelih. Jumlah paling banyak terdapat di Jawa, 43,12 persen. Tahun ini, permintaan hewan kurban ditaksir naik 5 persen.
Kemudian, bertumbuhnya kelas menengah. Menurut Bank Dunia, kelas menengah berpenghasilan 75 hingga 125 persen dari pendapatan per kapita. Sedangkan menurut Asian Development Bank (ADB) kelas menengah, berpengeluaran 2-20 dollar Amerika Serikat per hari.
BPS menyebut, kelas menengah (pendapatan 4-8 juta per bulan) tahun 2018 mencapai 124 juta jiwa. Dari jumlah itu, 68 persen di antaranya Islam. Kelas menengah muslim dicirikan dengan pola konsumsi yang gemar membeli produk barang atau jasa yang berhubungan dengan simbol atau aktivitas keberagamaan seperti naik haji, umrah, dan berkurban.
Strategi
Maka, diperlukan sebuah langkah strategis untuk mengelola potensi ekonomi ibadah kurban agar tidak hanya memberi manfaat secara teologis maupun sosiologis, namun juga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan hewan ternak jelang Idul Adha tentu berdampak meningkatnya kebutuhan pasokan hewan ternak.
Jika tidak diantisipasi, besar kemungkinan akan berdampak pula pada melambungnya harga hewan ternak. Pada titik inilah penting kiranya dilakukan langkah strategis untuk memaksimalkan efek ikutan (multiplier effect) dari akvititas ibadah kurban tersebut.
Tingginya angka permintaan hewan kurban jelang acara kurban dimanfaatkan untuk menggerakkan roda ekonomi masyarakat bawah. Utamanya para peternak dan pedagang hewan. Di samping itu, guna menghindari kenaikan harga secara tidak terkendali, perlu dipikirkan ketersediaan pasokan hewan ternak sejak jauh hari.
Sebelumnya, rantai pasokan hewan ternak lebih banyak bertumpu pada peternakan tradisional yang dijalankan perorangan di perdesaan. Belakangan, pasar hewan kurban juga diramaikan hewan ternak impor. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah. Hanya, diperlukan semacam regulasi sekaligus penguatan peternakan lokal agar ke depan pasar hewan tidak didominasi impor.
Pemerintah perlu berperan aktif mendukung dan mendorong kemajuan industri peternakan lokal. Langkah praktisnya bisa dengan memberikan penyuluhan, pendampingan, dan pemberian modal pada para peternak lokal. Tujuannya, agar rantai pasokan hewan kurban bisa disuplai lebih banyak peternak lokal dan hewan yang dihasilkan pun berdaya saing. Pada saat sama, diperlukan juga sebuah gerakan atau setidaknya kampanye penggunaan hewan lokal untuk kurban untuk melindungi para peternak lokal.
Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan infrastruktur pendukung bagi mobilitas hewan kurban. Selama ini, permintaan hewan paling banyak di Jawa. Sementara itu, pasokan hewan ternak dari internal Jawa sendiri tidak sebanding dengan jumlah permintaan. Ketimpangan jumlah permintaan dan penawaran itu pun dimanfaatkan oleh para importir.
Hal ini sungguh ironis mengingat kawasan timur seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan dikenal sebagai penghasil hewan ternak terbaik. Sayang, distribusi hewan ternak dari kawasan ini kerap terkendala transportasi. Ke depan, ini patut dipikirkan pemerintah agar pembangunan infrastruktur yang menguras anggaran negara itu mampu memberi kontribusi positif pada ekonomi masyarakat bawah.
Momentum ibadah kurban harus mampu menyumbang andil pada upaya kedaulatan pangan. Daging kurban bisa membantu kaum miskin mendapat asupan gizi, meski pun sifatnya temporal. Dibanding negara-negara lain, tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia terbilang rendah.
Pada tahun 2018 Kementerian Pertanian menyebut, konsumsi daging masyarakat Indonesia hanya 2,9 kilogram per orang per tahun. Mengacu pada World Health Organization, konsumsi daging minimal ialah 12,2 kilogram per orang setiap tahun. Rendahnya konsumsi daging ini tentu berhubungan dengan daya beli masyarakat akibat kondisi ekonomi lemah.
Untuk itu, perlu sebuah upaya sistematis agar daging kurban dapat dinikmati masyarakat di wilayah yang sulit dijangkau yang biasanya konsumsi daging rendah. Distribusi daging kurban perlu dikelola secara profesional agar tahan lama dan bisa dibagikan ke seluruh penjuru Indonesia.
Bahkan, jika memungkinkan daging kurban dapat diawetkan agar kebutuhan daging masyarakat miskin bisa terpenuhi tidak secara temporal, namun berkelanjutan. Upaya ini tentu membutuhkan sinergi antara pemerintah dan stakeholders terkait di lapangan, termasuk organisasi masyarakat Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Penulis Staf Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial