Membuat film pendek bukan sekadar untuk tontonan semata. Komunitas Film Pendek Jakarta mengajak penggiat film untuk melatih jiwa kepemimpinan melalui sebuah karya film.

Ya, tujuan membuat film bukan untuk gagah-gagahan atau sekadar ditonton orang. Membuat film, bagi Komunitas Film Pendek mempunyai tujuan agar hasil karyanya bisa dipertanggungjawabkan ke semua kalangan.

Bagi para penggiat film pendek, memiliki ruang luas untuk menelurkan kreatifitas dibandingkan film panjang. Ketiadaaan tuntutan komersil ditambah ajang festival yang mengedepankan pengkayakan ide "memanjakan" para penggiatnya.

Dengan filosofi seperti itu, para penggiat film secara tidak sengaja berlomba-lomba untuk menuangkan ide kreatif dalam sebuah film. Artinya, Komunitas Film Pendek Jakarta sungguh menikmati ruang kebebasan ide tersebut.

Bahkan, mereka menganggapnya sebagai sebuah tantangan. Karena dalam durasi maksimal 60 menit dalam versi Festival Film Indonesia untuk durasi film pendek, mereka dituntut untuk menghasilkan film yang padat dan kaya makna.

"Namun, film yang kami buat biasanya nggak sampai 60 menit, paling sekitar 15 menit," ujar Dika Perwira, Ketua Komunitas Film Pendek Jakarta yang ditemui bersama dua rekannya, Muchamad Rizki Adam dan Yunus Jihad, di Taman Kodok, Jakarta, Kamis (22/3) malam.

Bagi Komunitas yang berdiri tiga tahun yang lalu ini meski para penggiat film memiliki kebebassan dalam menuangkan ide. Mereka dituntut dapat mempertanggung jawabkan karyanya kepada semua masyarakat.

Bagi komunitas, karya yang dibuat tidak sekadar bermodalkan semangat melainkan memiliki tolak ukur. "Ini juga untuk melatih jiwa kepemimpinan," ujar Muchamad Rizki Adam yang biasa disapa Rizki, pendiri Komunitas Film Pendek Jakarta.

Jiwa muda yang penuh semangat terkadang sekadar mengedepankan ambisi tanpa mempertimbangkan dampaknya di masyarakat. Rizki tidak bermaksud memasung ide para anggotanya melainkan supaya film tidak memberikan dampak negatif di masyarakat.

Pra produksi merupakan bagian yang memakan waktu tergolong lama dibandingkan keseluruhan proses pembuatan film, produksi dan pasca produksi. Pra produksi biasanya menghabiskan waktu satu bahkan hingga satu setengah bulan dari waktu tiga bulan untuk pembuatan film.

Karena selama proses tersebut, akan ada proses pengayakan ide dari para penggiat film. Mereka akan mengajukan ide cerita, argumentasi bahkan membahas detail setiap pengambilan gambarnya. Sedangkan, produksi biasanya hanya memakan waktu selam satu atau dua hari dan sisanya digunakan untuk pascaproduksi.

Sampai saat ini, anggota Komunitas Film Pendek Jakarta merupakan penggiat film dari kalangan mahasiswa dan pekerja. Rata-rata, mereka memiliki bekal dalam pembuatan produksi film, misalnya editing, make up, pengambilan gambar dan lain sebagainya. Di dalam komunitas, mereka semakin memperdalam kemampuan sehingga makin terampil bahkan menguasai bidang lain. "Sampai saat ini belum menyertakan pelajar, karena terkait ijin orang tua. Pasalnya, pembuatan film bisa dilakukan hingga malam hari," ujar Rizki.

Dalam waktu dekat, komunitas tengah merencanakan rekruitmen untuk umum. Dengan, syarat memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam pembuatan film.

Selama tiga tahun berdiri, mereka telah menghasilkan sejumlah film pendek, antara lain 108, Dear Diary, Imagi, Bubur Ayam Si Deon. Beberapa diantaranya meraih kejuaran dalam ajang film pendek di dalam negeri. "Ketika berkarya jangan pernah untuk menang di festival, menang di festival adalah bonus," ujar dia. Karena dikhawatirkan, target untuk menang di festival tidak tercapai, hasilnya pembuat film menjadi down.

Setiap tahun, komunitas memiliki agenda membuat film pendek, minimal tiga film. Para filmmakernya berasal dari para anggota komunitas sedangkan untuk aktor mereka bekerja sama dengan aktor maupun aktris yang tengah merintis karir.

Selain itu setiap minggu, mereka melakukan kopi darat untuk melakukan diskusi bahkan membuat vlog untuk makin meningkatkan kemampuan membuat film. Melalui film pendek, film menjadi karya dan mengasah pengetahuan. din/E-6

Film Pendek Tidak Perlu Sensor

Para penggiat Komunitas Film Pendek Jakarta sepakat bahwa film pendek tidak perlu sensor. Meskipun begitu, mereka masih bimbang untuk membuat film dengan adegan tanpa busana. Muchamad Rizki Adam, pendiri Komunitas Film Pendek Jakarta menyepakati bahwa film pendek tidak perlu mengenal sensor. "Enggak," ujarnya singkat. "Namun di tempat kami, belum ada yang membuat adegan porno," ujar dia.

Hal serupa dikemukakan Dika Perwira, Ketua Komunitas Film Pendek Jakarta. "Sensor, enggak. Film pendek harus kritis," ujar dia. Mengutip Harry Dagoe Surhayadi , ia mengatakan bahwa film yang dipotong adegannya akan kehilangan makna bahkan untuk adegan porno sekalipun. Untuk itu, adegan porno yang ditampilkan harus dapat dipertanggungjawabkan. "Kalau dipotong nggak jujur," ujar dia.

Sampai saat ini, baik Rizki maupun Dika yang biasa disapa Cikun belum terpikirkan untuk membuat film dengan adegan tanpa busana. Mereka masih membuat film bertemakan keseharian, seperti percintaan maupun tokohtokoh tertentu. Salah satunya, Cikun pernah membuat film tentang Basuki Abdullah yang dianggapnya sebagai pahlawan. Karena, pelukis tersebut bisa menyatukan negara dengan lukisannya.

Bagi Cikun, film pendek makin mendapat tempat di masyarakat. Teknologi menjadi salah satu pendukung kondisi tersebut. Terlihat saat ini, masyarakat mulai memilih tayangan yang bakal dikonsumsi.

Mereka tidak lagi mengandalkan televisi untuk mendapatkan hiburan maupun informasi . Mereka mulai beralih ke you tube untuk mendapatkan informasi yang diperlukan.

Di samping itu, banyaknya gedung bioskop yang menanyakan film pendek maupun film festival menjadikan film di luar box office menjadi tayangan yang menarik. Walaupun, cerita dan alurnya terkesan lebih berat, film-film tersebut tidak kehilangan peminat, seperti film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang masuk bioskop XXI. Dengan makin terbukanya penayangan film pendek dan film festival, masyarakat makin banyak pilihan tontonan. din/E-6

Anugerah dan Ekspresi Perjalanan Hidup

Bagi para penggiatnya, film tidak sekadar tontonan. Film memiliki makna khusus. Film adalah ekspresi kejujuran kehidupan, mulai sebagai anugerah maupun sebuah perjalanan hidup.

Yunus Jihad, Wakil Ketua Komunitas Film Pendek Jakarta mengatakan film merupakan anugerah dari Tuhan. Pasalnya melalui film, terutama film pendek, ia bisa melihat kehidupan manusia. "Ada emosi, canda, tawa, semua bisa dilihat di film," ujar dia yang telah menghasilkan sekitar 5 film pendek ini. Laki-laki yang biasa disapa Jihad ini mengatakan film dapat mengakomodasi keseluruhan gerak manusia, mulai gambar, musik maupun tari. Sehingga, semua kehidupan manusia dapat terekam melalui film, khususnya film pendek.

Menurut Jihad, film pendek menampilkan kenyataan hidup. "Film pendek kan idealis, nggak ada yang ditutupin. Lalu durasi filmnya pendek, jadi nyaman saja," ujar dia.

Selain itu, Jihad mengatakan, film pendek memunculkan banyak pesan moral yang berguna untuk kehidupan. Seperti sebuah film yang pernah ditontonnya. Film tersebut menceritakan wanita tengah duduk dan menulis. Dia menulis dari kanak-kanak, bekerja sampai tua. Film berdurasi 30 menit tersebut sangat membekas karena dia menangkap pesan bahwa hidup jangan disia-siakan. Sementara, Dika perwira menganggap film sebagai sebuah perjalanan kehidupan. "Film itu hidup," ujar dia. Banyak kejadian hidup yang dapat dinikamati melalui film. Laki-laki yang berkeinginan membuat film tentang semiotik ini mengatakan film tak sekadar karya. Para penggiatnya dituntut terus memiliki pengetahuan.

"Untuk bikin film berat, pembuat filmnya harus pinter dulu," ujar dia penuh semangat. Cerita Rama dan Shinta merupakan salah satu cerita yang ingin diangkat melalui layar lebar. Namun untuk cerita tersebut, Dika atau biasa disapa Cikun perlu mempelajari ceritanya terlebih dahulu untuk menghindari kesalahan. Bagi dia, cerita-cerita budaya merupakan kekayaan yang perlu diangkat kembali. Salah satunya melalui film. Hal ini agar penikmat film tanah air makin cinta dengan bangsanya sendiri. din/E-6

Baca Juga: