Permainan berbasis teknologi yang kian mendominasi waktu bermain anak, menjadikan anak-anak tak lagi terbiasa dengan permainan tradisional.

Permainan tradisional makin jarang dijumpai di kalangan anak-anak. Mengapa? Salah satu alasannya adalah permainan tradisional tidak pernah lagi dikenalkan oleh orang tuanya.

Tapi, tidak semua masyarakat tidak peduli dengan permainan tradisional untuk anak. Komunitas Temen Main, misalnya, giat mengenalkan permainan tradisional di kalangan anak-anak yang saat ini lebih banyak terpapar permainan teknologi.

Egrang (jalan dengan beralaskan batok kelapa), gobag sodor, engklek, amparampar pisang merupakan permainan kanak-kanak yang saat ini makin sulit ditemukan. Permainan berbasis teknologi yang merajai menjadikan anak-anak tak terbiasa dengan permainan tradisional. Tak urung, mereka pun sedikit gagap saat menjajalnya.

"Memang cukup mengejutkan, tapi senang," ujar Evin Jevani, Pengurus Komunitas Temen Main yang ditemui di pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Selatan bersama dua rekannya Agus Ardiyanto (31) dan Zulhamsyah Rambe (32), Rabu (24/4). Hal ini lantaran, setiap individu dituntut aktif, perlu kerja sama bahkan sportif.

Seperti engklek yang meloncat dari satu kotak ke kotak lainnya, anak-anak membutuhkan keseimbangan loncat dengan satu kaki. Begitu juga dengan egrang, jalan di beralaskan batok kelapa membutuhkan keseimbangan. Tapi selama permainan, mereka akan tertawa senang lantaran berhasil atau mampu mengkomunikasikan permaiannnya dengan teman lainnya.

Namun tidak setiap anak mau terlibat. Ada anak yang lebih senang menyendiri. "Gurunya bilang karena dia sering bermain game, orang tuanya pun mengakuinya," ujar dia. Untuk tipikal seperti ini, Evin dan teman-teman komunitasnya perlu melakukan pendekatan lebih dalam tanpa paksaan.

Komunitas Temen Main ingin mengenalkan permainan tradisional yang makin langka dalam referensi permainan anak-anak saat ini. Tidak hanya pada anak melainkan pada orang tua.

"Kita pingin anak-anak kenal sama permainan tradisional, biar tetap dimainkan. Dan orang tua mengajari ke anak-anaknya permainan tradisional," ujar dia tentang maksud kegiatan komunitas.

Bagi komunitas, anak-anak perlu main. Permainan tradisional mewadahi kebutuhan tumbuh kembang anak, mulai motorik (mengasah perilaku gerakan tubuh), kerja sama maupun sportifitas.

"Itu yang kita bilang main itu penting, jadi nggak sekadar main sendiri," ujar dia. Anak-anak butuh bergerak loncat-loncat, panas-panasan, hujan-hujannya bahkan jatuh sampai berdarah-darah. Karena, gerakan fisik akan mengasah motorik kasar pada anak-anak.

Selama ini, referensi permainan masih diperoleh melalui sharing pengalaman antar anggota komunitas. Mereka mengingat-ingat kembali permainan tradisional di masa kecil.

Referensi juga diperoleh melalui you tube maupun pakar permainan tradisional termasuk guru sekolah tempatnya membagikan ilmu. Hasilnya tidak mengecewakan, ada sekitar 30 permainan tradisional yang telah berhasil dikumpulkan.

Selama ini, Komunitas Temen Main lebih banyak membagikan ilmu pada anakanak TK hingga SD kelas 3. Pada usia tersebut, anak-anak dianggap dapat dilatih untuk memainkan permainan tradisional yang sedikit terstruktur. Di sisi lain, mereka belum terlalu disibukkan dengan materi pembelajaran sekolah yang terlalu ketat.

Saat ini, Komunitas Temen Main banyak mengajarkan permainan tradisional pada siswa TK dan SD. Hal ini tidak lain, karena belakangan komunitas bekerja sama dengan Yayasan Visi Maha Karya yang memiliki perhatian pada anakanak tuna daksa. Yayasan menyumbangkan kaki maupun tangan palsu dan mengembangkan penderita tuna daksa, khusus yang berprestasi.

Komunitas Temen Main diajak mengunjungi ke sekolah- sekolah untuk menggalang dana. Mereka sebagai pengisi acara dengan permainan tradisional. Jadwal kegiatannya tergolong cukup ketat, yaitu seminggu tiga kali, biasanya dilakukan pada hari kerja.

Acara gathering perusahaan menjadi salah satu agenda kegiatan komunitas yang berdiri pada 2015. Selain itu, komunitas kerap diundang dalam acara ulang tahun yang diselenggarakan di rumah.

Mereka akan menggelar matras engklek yang bergarisgaris dan berwarna sesuai kebutuhan permainan. Maksudnya supaya, anak-anak dapat memainkan di dalam rumah.

Meski diundang sejumlah pihak, komunitas yang mengambil nama temen main sebagai ungkapan umum tidak melupakan pijakan awal sebagai gerakan sosial.

"Kami sukarelawan," ujar Agus Ardiyanto, pengurus yang mengatakan komunitas bersedia diundang pihak manapun. Mereka memiliki kegiatan untuk bermain bersama di tempat-tempat umum, seperti Taman Suropati.

Pengurus akan menginformasikan melalui instagram untuk mengundang masyarakat yang ingin turut serta. Sayangnya, jadwal perbulan tidak bisa rutin diselenggarakan lantaran kesibukan komunitas.

Evin tidak menyangka bahwa komunitas yang digawangi bersama teman-temannya akan banyak diminati masyarakat. Kegiatan yang berawal sekedar mengajak anakanak bermain di sekitar base camp ngumpul berkembang menjadi bentuk kerja sama.

Ke depan, komunitas ingin memiliki galeri yang berisikan permainan tradisional dari seluruh nusantara. Sehingga, anak-anak memiliki wadah untuk bermain dangan beragam permainan tradisional. din/E-6

Kurangi "Gadget", Kenalkan Permainan di Dalam Rumah

Jenis permainan maupun inovasi pada permainan tradisional telah memetahkan anggapan, permainan tradisional hanya dilakukan di halaman terbuka nan luas. Nyatanya permainan tersebut dapat dilakukan di halaman minim bahkan di dalam rumah.

"Itu jaman dulu, kesannya (permainan tradisional) harus di luar rumah," ujar Evin. Padahal dengan memilih jenis permainannya, permainan tradisional dapat dilakukan di dalam rumah. Main sambil nyanyi, seperti injit-injit semut merupakan permainan tradisional yang dapat dilakukan di rumah. Permainan lainnya seperti ular tangga maupun monopoli.

Upaya tersebutlah yang tengah digalakkan Komunitas Temen Main. Mereka tengah membuat marchindise permainan yang dapat dibawa ke sejumlah tempat. Matras engklek, salah satunya, permainan engklek yang dulu dilakukan di halaman dengan menggaris tanah membentuk kotak atau menggaris lantai garasi dengan kapur dapat dilakukan dengan menggelar matras.

Matras yang telah berbentuk pola kotak dengan warnawarna mencolok dapat menjadi media main permainan tradisional. Selesai permainan, matras dapat dilipat lalu disimpan. "Kalau mau main, (matras) tinggal dibawa, jadi praktis," ujar wanita asal Riau ini.

Permainan yang dapat dilakukan di rumah dapat mendekatkan hubungan orang tua dan anak. Orang dan anak dapat bermain bersama-sama dalam satu permainan tanpa membutuhkan waktu yang terlalu banyak. "Cukup 15 sampai 20 menit udah bikin anak senang. Yang penting interaksi orang tua dan anak," ujar dia.

Bahkan, Agus pernah sering kebablasan, niatnya hanya main 15 menit molor hingga satu jam. "Tapi ya sudah, walaupun capek-capek turutin saja, wong anaknya lagi seneng-senengnya," ujar bapak dua anak ini.

Interaksi tersebutlah yang menjadikan permainan tradisional tidak dapat digantikan gadget." Kalaupun digantikan, filosofinya tidak dapat digantikan," ujar dia. Hal ini lantaran, permainan tradisional membutuhkan kerja sama, kekompakan, kebersamaan bahkan emosional. Kalau bermain gadget, kekalahan permainan umumnya diluapkan dalam emosi yang meledak-ledak. Berbeda dengan permainan tradisional. "Kalah main ya menerima, harus jujur.

Kalau (maian kalah di) gadget suka nggak mau terima," ujar dia tentang salah satu keitimewaan permainan tradisional. din/E-6

Tak Sulit Mengajari Permainan Tradisional

Walaupun baru diperkenalkan dengan permainan traditional, anak-anak yang biasa bermain gadget mudah melakukan adaptasi. Permainan yang populer di jaman masa kecil orang tuanya menjadi permainan baru.

Zulhamsyah Rambe, 32, anggota Komunitas Temen Main mengatakan, tidak sulit mengajari anak-anak dengan permainan traditional. "Anak sekarang jauh lebih pintar dan kreatif," ujar bapak dua anak tersebut. Mereka merupakan pengamat dan peniru yang tergolong ulung serta kritis.

Terbukti selama road show di sejumlah tempat maupun sekolah, laki-laki yang piawai memainkan engsreng (permainan dengan peleg sepeda dan kayu ini) tidak memerlukan waktu banyak untuk mengajari anak-anak, cukup dengan tiga kali pengulangan. "Pertama, mereka mengulang, yang kedua salah dan ketiga, mereka sudah bisa," ujar dia.

Jika Zul mengaku tidak memiliki kesulitan dalam mengajari anak-anak, Agus memiliki pendapat sebaliknya. Setelah melakukan road show di sejumlah tempat, ia menemukan adanya perbedaan keseriusan antara anak-anak di sekolah internasional maupun sekolah mahal dengan anak-anak yang bersekolah di daerah pinggiran.

Anak-anak yang sekolah di sekolahan internasional maupun berbayaran mahal, mereka lebih tertib dan mudah diatur. "Mungkin karena di rumah sudah dibiasakan," ujar dia. Sehingga saat ada materi baru, mereka lebih tertib dan siap menerima materi.

Sebaliknya dengan anak-anak yang sekolah daerah pinggiran dengan tingkat ekonomi lebih rendah, mereka cenderung sulit diatur. Mereka memiliki pendiriannya masing-masing. "Diminta berbaris saja sulit," ujar dia. Bahkan, gurunya pun kesulitan mengendalikan anak didiknya.

Dari pengalaman, Agus mengambil kesimpulan bahwa tingkat ekonomi akan memberikan pengaruh pada perkembangan anak. Pada anak-anak yang bersekolah di sekolah internasional maupun dengan bayaran mahal, mereka tidak direpotkan dengan kondisi ekonomi keluarga.

Lain halnya dengan anak-anak keluarga kurang mampu, secara tidak langsung maupun langsung mereka dihadapkan dengan kesulitan ekonomi keluarga. Meski menghadapi anak-anak dari golongan ekonomi yang berbeda, Agus memperlakukan peserta didiknya dengan sama.

Komunitas Temen Main merupakan kegiatan sukarela. Setiap mengajar, dia jadikan sebagai ajang uji kesabaran. "Malah jadi awet muda," ujar dia tergelak. Lantaran, dia menghadapi anak-anak untuk mengajaknya bermain. Bersama, anak-anak selalu ada canda tawa yang tak pernah berkesudahan. din/E-6

Baca Juga: