Judul : Suguhan
Editor : Widyanuari EP- Bandung M
Cetakan : I, Mei 2018
Penerbit : Boekoe Tjap Petroek
ISBN : 978-602-6694-49-2
Tak ada nyanyian dan ritual tiup lilin pada perayaan 66 tahun Romo Sindhunata, 12 Mei 2018 lalu. Adanya buku Suguhan (2018) dipersembahkan kepada pengarang novel Anak Bajang Menggiring Angin itu. Beberapa tokoh seperti Sukarno, HB Jassin, Sapardi Djoko Damono juga merayakan ulang tahun dengan menerbitkan buku. Tapi buku Suguhan bukanlah kumpulan tulisan Sindhunata, tapi apresiasi puisi-puisi Sindhunata yang tersebar di sembilan buku terbitan Bentara Budaya Yogyakarta.
Sindhunata telah menyulut "lilin-lilin" lewat karya-karyanya. Nyala semakin terang saat orang-orang membaca, mengobrolkan, dan mengulas dalam bentuk tulisan. Itu penyebarluasan pengetahuan yang arif dan bersahaja. Orang-orang tak digoda untuk berkomentar pendek, bagus atau jelek, layaknya di media soaial. Buku Suguhan mengajak pembaca untuk membuka referensi-referensi lain, mencomot ingatan-ingatan yang terserak, dan menatanya agar menjadi apresiasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Widyanuari Eko Putra lewat esai Kencrung dan Ingatan-ingatan Itu mengapresiasi puisi Sindhunata di buku Pasar Kencrung (2011). Puisi lahir dari pengamatan, pembacaan, dan penafsiran Sindhunata atas 60-an karya seni rupa yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 10-15 September 2011. Pada pameran itu, seniman-seniman seperti Djoko Pekik, Nasirun, Ong Hari Wahyu, mengkreasi alat musik kencrung dalam berbagai bentuk.
Dari rupa-rupa tersebut Sindhunata menulis puisi Bebek Adus Kali. Mendapati proses kreatif yang dilalui Sindhunata dalam menulis puisi, Widyanuari melakukan pelacakan hingga ke masa Chairil Anwar. Rupanya, Chairil juga pernah menulis puisi setelah melihat lukisan telanjang karya Basuki Resobowo. Alih-alih menulis puisi berkisah gairah persetubuhan, Chairil justru menulis puisi berjudul Sorga.
"Kisah itu menjelaskan kelahiran puisi berkat perjumpaan penyair dengan karya rupa tak terjadi sejak kemarin petang. Sejak bayi Indonesia lahir, kerja seni kolaboratif sudah wajar dilakoni Chairil. Praktik itu terus berlanjut, ditekuni oleh para penyair, dari Afrizal Malna, Adimas Imanuel, Tjahjono Widarmanto, hingga yang paling sregep tentu Romo Sindhunata," (hlm 30).
Pembaca pun beralih ke esai selanjutnya untuk membuktikan kesregepan Sindhunata menggubah puisi-puisi bereferensi karya seni rupa. Di halaman 84, ada esai Na'imatur Rofiqoh berjudul Tawa Politik Petruk. Dalam esainya ini, dia mengapresiasi empat puisi Sindhunata dalam buku Petruk Nagih Janji (2009). Puisi juga diilhami karya-karya 20 perupa yang telah menunjukkan sikap atas peristiwa-peristiwa politis. Dalam puisi Sindhunata, Petruk tak berujud jangkung, berhidung mancung, bermulut lebar, maupun berambut panjang yang dikuncir ke atas seperti biasa. Petruk di puisi Sindhunata telah menjadi simbol atau konsep yang teranggap diketahui mahajana. Petruk itu, menurut Na'imatur yang mengutip Ben Anderson, punakawan dengan "mulut ganas," gemar menipu untuk mempermainkan orang lain. Dia pelawak kasar (hlm 92).
Dalam buku Suguhan, M Fauzi Sukri dan Uun Nurcahyanti mengapresiasi Jula-juli Sindhunata yang bertema Semar. Jula-juli itu pengantar pada pameran senirupa "Ilange Semar" tahun 2017. Ada pula Setyaningsih yang mengapresiasi puisi Memetik Bunga Mei Hua dalam buku dokumentasi pameran tunggal Riyanto tahun 2018. Berulang tahun memang tak semestinya memadamkan lilin. Esais-esais dalam Suguhan justru ikut-ikutan menyalakan lilin dari sumber api yang sama, Sindhunata. Cahaya terang itu pun semakin bersinar.
Diresensi Hanputro Widyono, peminat sastra