Judul : Silence

Penulis : Shusaku Endo

Penerbit : Gramedia

Cetakan : Mei 2017

Tebal : 304 halaman

ISBN : 978-602-03-3717-3

Pada abad ke-16, kekristenan berkembang pesat di Jepang. Gereja-gereja, seminari, dan biara banyak dibangun. Para daimyo (semacam tuan tanah yang berkuasa) memanfaatkan penyebaran kekristenan demi keuntungan dagang dengan negara luar seperti Portugal. Tapi, keadaan berubah cepat saat shogun baru, Ieyasu Tokugawa, menggantikan kepemimpinan Hideyoshi Toyotomi.

Ieyasu yang tidak menyukai perkembangan kekristenan menetapkan hukuman mati kepada para misionaris. Para misionaris pun kemudian memutuskan bergerak di bawah tanah dalam menyebarkan kekristenan. Penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan orang Kristen dan misionaris terus dilakukan untuk membasmi kekristenan di Jepang. Pada akhirnya, para misionaris tidak hanya dibunuh secara langsung, tetapi disiksa terlebih dulu agar mereka mengingkari iman.

Novel Silence (2017) berkisah tentang perjalanan Sebastian Rodigues, seorang misonaris yang pergi ke Jepang untuk mencari gurunya, Ferreira, salah satu misionaris yang dikabarkan telah mengingkari imannya karena tidak tahan dengan penyiksaan. Rodigues bersama dengan dua temannya tidak percaya bahwa gurunya yang seorang misionaris berpengalaman dan sumber inspirasi, murtad karena tidak tahan disiksa.

Buku ini menggambarkan perkembangan psikologis Rodigues, sang pastor, dengan sangat mendalam. Rodigues, yang baru pertama kali tiba di negeri asing, harus mengalami berbagai percobaan yang mengusik hatinya. Selama percobaan, Rodigues akhirnya mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Terlebih lagi, ketika dia melihat sendiri orang-orang Kristen Jepang yang harus dia tolong dengan doa malah terbunuh karena membantu Rodigues bersembunyi dari kejaran para samurai Jepang. Saat memandang lautan di tepi pulau Jepang, hatinya menjadi gundah. "Di balik keheningan menyesakkan laut ini ada keheningan Tuhan. Perasaan bahwa sementara manusia berseru-seru dalam penderitaan kepada-Nya, Tuhan tetap diam dengan kedua tangan terlipat," katanya.

Rodigues percaya, Tuhan tidak memberi percobaan kepadanya maupun orang-orang Kristen Jepang tanpa maksud tertentu. Namun, di dalam relung hatinya tetap muncul keraguan pada kepercayaannya. Apalagi, ketika teringat salah satu orang Jepang Kristen bertanya kepadanya. Apa salah mereka sampai-sampai Tuhan member cobaan yang begitu berat. Rodigues pun akhirnya berkata dalam hatinya, "Sudah 20 tahun berlalu sejak penganiayaan dimulai. Tanah Jepang yang hitam telah dipenuhi ratap tangis begitu banyak orang Kristen. Darah merah para iman juga telah mengalir deras di sini. Tembok gereja-gereja telah runtuh. Di hadapan pengorbanan dahsyat yang tidak kenal kasihan ini, Tuhan tetap hening dan bungkam" (halaman 100).

Keraguan mulai muncul dalam diri Rodigues, bukan karena kesulitannya selama di Jepang. Dia mulai mempetanyakan sikap Tuhan, setelah melihat penderitaan orang-orang Kristen Jepang terus-menerus. Rodigues terus mempertanyakan sikap Tuhan yang hanya diam saat orang-orang Kristen, termasuk dirinya, membutuhkan pertolongan-Nya.

Novel Silence berfokus pada perjuangan Pastor Sebastian Rodigues yang sedang mengalami pergulatan imamnya selama di Jepang. Saat melihat penderitaan para penganut Kristen Jepang, dia harus memilih untuk terus percaya kepada Tuhan yang suaranya tak pernah terdengar atau melepaskan imannya untuk menolong orang-orang Kristen Jepang merintih kesakitan.

Diresensi Miguel Angelo Jonathan, Mahasiswa UNJ

Baca Juga: