Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg mengatakan bahwa dirinya telah memprediksi invasi Rusia ke Ukraina sejak 2014 silam.

Berbicara kepada wartawan usai pertemuan anggota NATO di Madrid pada hari Rabu (29/6), Stoltenberg menuturkan pihaknya telah mengantisipasi konflik dengan Rusia sejak 2014 dengan meningkatkan pengeluaran militer dan menempatkan lebih banyak pasukan di Eropa Timur.

Dikutip Russia Today, Stoltenberg menuduh Moskow "menggunakan kekuatan di Donbass timur sejak 2014," meskipun faktanya pasukan Kiev telah menembaki kota-kota di wilayah itu sejak Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk mendeklarasikan kemerdekaan dari Ukraina pada tahun yang sama.

Namun demikian, Stoltenberg mengatakan bahwa blok militer yang dipimpin AS itu memutuskan pada 2014 untuk mulai meningkatkan kekuatannya di Eropa Timur.

"Kenyataannya juga kami sudah mempersiapkan ini sejak 2014," ujarnya.

"Itulah alasan mengapa kami meningkatkan kehadiran kami di bagian timur aliansi, mengapa sekutu NATO mulai berinvestasi lebih banyak dalam pertahanan, dan mengapa kami meningkatkan kesiapan (kami)," jelas Stoltenberg.

Berdasarkan data NATO, seperti dilansir RT, anggota aliansi Eropa dan Kanada telah meningkatkan pengeluaran militer mereka antara 1,2 persen sampai dan 5,9 persen pada setiap tahunnya sejak 2014.

Walaupun demikian, NATO mencatat hanya 10 dari 30 negara anggotanya yang saat ini memenuhi target blok untuk menghabiskan 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pertahanan.

RT menuturkan Eropa Timur dan Baltik menjadi kawasan yang paling berupaya meningkatkan pengeluaran untuk pertahanan. Polandia, Lituania, Estonia, Latvia, Republik Ceko, Slovakia, dan Rumania semuanya memenuhi target untuk pertama kalinya pada 2022.

Adapun dari pertemuan antar anggota di Madrid, NATO setuju untuk mengadopsi konsep strategis bar, yang menetapkan sikap aliansi terhadap mitra, non-anggota dan musuh. NATO juga menyepakati menyebut Rusia sebagai "ancaman paling signifikan dan langsung" bagi blok tersebut.

Berbanding terbalik, Rusia justru telah melabeli ekspansi NATO ke negara-negara bekas Soviet sejak akhir Perang Dingin sebagai ancaman terhadap keamanannya sendiri. Sebagai informasi, para pemimpin Barat pada awal 1990-an secara eksplisit menjanjikan tidak akan melakukan ekspansi ke arah timur.

Sementara dalam Deklarasi Bukares 2008, ditetapkan bahwa Ukraina dan Georgia "akan menjadi anggota NATO" pada tanggal yang tidak ditentukan di masa mendatang. Hal inilah yang disebut Rusia sebagai faktor kunci di balik konflik saat ini.

Menanggapi hal ini, Stoltenberg mengklaim pada hari Rabu bahwa "NATO telah mengupayakan hubungan yang lebih baik dengan Rusia selama beberapa dekade, terlepas dari pawai aliansi pasca-Perang Dingin ke bekas Blok Timur, seperti dikutip RT.

Baca Juga: