Masjid Jami' Pekojan Semarang tidak bisa dilepaskan dari sejarah penyebaran dan perkembangan agama Islam, khususnya di Jawa. Masjid ini memiliki jasa besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa dan termasuk salah satu tempat ibadah yang dikategorikan sebagai bangunan cagar budaya.
Secara administratif, Masjid Pekojan berada di Jalan Petolongan, Kampung Pekojan, Kelurahan Purwodinatan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kawasan itu sering disebut sebagai kawasan Pecinan. Lokasinya penuh dengan bangunan tua yang jadi pertokoan dan setiap hari ramai dengan hiruk pikuk aktivitas perdagangan.
"Masjid ini termasuk masjid tua. Setiap harinya ramai jamaah, baik dari warga sekitar maupun pendatang, terutama para karyawan toko di kawasan Pekojan. Apalagi di bulan Ramadan seperti sekarang ini," tutur Ketua Takmir Masjid Jami' Pekojan, Kiai Ali Haedar Baharun, yang ditemui seusai menjadi imam salat, kemarin.
Masjid Pekojan berada di perkampungan padat penduduk. Tempat ini masih menjadi satu dengan perkampungan tua yang sangat terkenal di Semarang, yakni Pecinan. Untuk dapat mengakses masjid ini cukup mudah, dari Jalan Pekojan sudah tampak Jalan Petolongan. Selain itu, masjid ini sangat populer, hampir semua orang mengetahui keberadaannya.
Meskipun di tengah hiruk-pikuk perdagangan di kawasan Pecinan, masjid ini selalu ramai ketika tiba waktu salat. Kanan, kiri, depan, dan belakang terdapat bangunan-bangunan besar dengan ciri khas bertembok tebal ala Eropa. Kebanyakan dari bangunan ini dipergunakan untuk berdagang sehingga banyak karyawan yang salat di masjid tersebut.
Tanah Wakaf
Di sekitar masjid banyak pertokoan dan pergudangan. Selain masyarakat setempat, jemaah masjid ini juga banyak karyawan atau pendatang. Biasanya seusai salat, jemaah duduk santai sejenak untuk melepas lelah. Ada sebuah prasasti. Dalam prasasti yang ada di dinding terbuat dari marmer. Masjid Pekojan itu berdiri di atas tanah wakaf pemberian saudagar Gujarat, India, Khalifah Natar Sab.
"Ceritanya, setelah menetap lama di Semarang, khalifah ini kemudian membangun sebuah musala kecil dengan dikelilingi makam," kata Kiai Ali.
Sayangnya, tak ada data otentik kapan awal mula musala yang kemudian menjadi masjid itu dibangun. Tulisan dengan menggunakan Arab gundul (pegon) itu hanya menyebutkan bahwa musala dipugar oleh lima habib sebagai panitia utama, yaitu H Muhammad Ali, H Muhammad Asyari Akwan, H Muhammad Yakub Alhadi Ahmad, H Muhammad Nur, dan H Yakub. Masjid ini dipugar sekitar tahun 1309 Hijriah atau 1878 Masehi.
Luas bangunan asli masjid ini pun awalnya hanya sekitar 16 meter persegi, dan menggunakan kayu serta dikelilingi oleh bangunan makam. Dan pada tahun 1975-1980, Masjid Pekojan mengalami renovasi besar-besaran. "Saat dilakukan renovasi, beberapa makam dipindahkan, namun masih ada yang dipertahankan seperti makam keturunan pendiri masjid, imam, dan para pengurus masjid," tutur Kiai Ali.
Misalnya di bagian dalam sisi timur masjid, terdapat satu makam, yaitu makam dari Syarifa Fatima, seorang warga Pekojan yang pada zamannya terkenal suka menolong dan menyembuhkan penyakit warga.
Nah, di dekat makam Syarifa Fatima itu ada pohon bidara yang bibitnya didatangkan langsung dari Gujarat. Konon, daun dari pohon bidara ini bisa dimanfaatkan untuk melemaskan otot mayat yang kaku sekaligus menghilangkan bau tak sedap saat dimandikan.
Kiai Ali tidak menampik masih adanya kepercayaan masyarakat terhadap sugesti itu. Bahkan, warga pun sering memanfaatkan daun pohon bidara untuk keperluan pengobatan. Sejauh mana kegunaan pohon bidara dan hasil yang didapat, wallahualam.
Henri Pelupessy/N-3