Nenek berusia sekitar 70 tahun itu berjalan di halaman Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia I Jakarta Timur untuk mengisi keseharian yang tak tahu harus berbuat apa di hari libur Lebaran. Memang tidak banyak kegiatan pada Hari Raya Idul Fitri di panti tersebut selepas Salat Idul Fitri.

Nenek tesebut tak memperkenalkan diri. Dia juga tampak tidak juga berminat untuk mengobrol lebih jauh tentang bagaimana ia bisa ditempatkan di panti sosial ini. Dia hanya bertanya "Kamu siapa? Tolonglah cari keluargaku, tolong ya, terima kasih," kata nenek berkerudung dengan daster itu berlalu.

Panti sosial milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah naungan Dinas Sosial ini dihuni para lansia yang berasal dari penjaringan penyandang masalah kesejahteraan sosial oleh Satpol PP. Pemandangan lansia yang berjalan lalu-lalang di halaman dan dalam koridor panti tersebut bukan cuma satu. Beberapa orang berseliweran tak kenal panas ataupun hujan.

"Kamu orang mana? Kamu tahu nggak keluarga saya?" kata perempuan lansia lainnya yang sedang melintas dan bertegur sapa.

Menjalani hari tua tanpa sanak saudara di panti sosial memang bukan hal yang diinginkan mereka, dan tentu para lansia lainnya. Tapi apalah daya kondisi fisik para lansia tersebut sudah lemah, ingatan yang mulai pikun, atau bahkan mengalami gangguan jiwa psikotik.

Sebanyak 70 dari 202 orang lansia yang ditampung di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia I Jakarta Timur adalah orang dengan gangguan jiwa psikotik. Soleh (60 tahun), kakek yang mengenakan sarung, baju koko, dan lengkap dengan kopiah berjalan pelan-pelan menaiki tangga. Jalannya sudah sangat lambat karena kondisi fisiknya yang sudah lemah.

Soleh bercerita bagaimana bisa sampai ditempatkan di Panti Sosial Tresna Werdha. "Saya dari Pandeglang, ke Jakarta mau ke rumah ibu saya, tapi nggak ketemu-ketemu," kata Soleh.

Saat mencari rumah itulah, Soleh terjaring razia lalu ditempatkan di panti ini. Soleh tak ingat nomor telepon keluarga untuk menginformasikan keberadaanya, begitupun keluarga yang tidak ada terdengar kabar mencari tahu keadaannya. Di hati kecilnya, Soleh berharap akan ada yang menjemputnya pulang dan kembali berkumpul bersama keluarga.

Soleh bercerita sebelumnya ia berdagang pakaian bersama istri di Pandeglang. Ia memiliki dua putra yang masih duduk di bangku SMP dan STM. Sebelum pergi mengadu nasib ke Jakarta dengan niat mencari kerja apa pun, dia berpesan kepada istrinya agar tidak usah khawatir kalau tidak kembali pulang.

Nada getir tersirat dari suaranya yang pelan ketika menjawab pertanyaan bagaimana bila tidak ada yang datang untuk menjemput. "Ya, tunggu saja," kata dia tanpa tahu kepastian.

Sangat Bosan

Tatapan kakek Soleh semakin menerawang ketika disinggung perihal merayakan Lebaran di panti sosial. Ia teringat kehangatan merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga dan bersilaturahim ke tetangga. Dia merasa aman di panti sosial karena terpenuhi kebutuhan hidup, namun mengaku sangat bosan dan ingin keluar dari panti.

Oma Lusy (80 tahun) berjalan pelan dan hati-hati mengelilingi kawasan panti tiada henti. Entah ia sudah memutari panti untuk yang ke berapa kalinya.

"Kamu orang Medan atau Manado," dia bertanya kepada setiap orang baru yang mengunjungi panti. Tapi ia menyembunyikan alasan kenapa bertanya demikian.

Oma Lusy berasal dari Manado, dan ia penasaran dengan orang yang memiliki kaitan dengan daerah asalnya dan suatu kota di Sumatera Utara.

Salah seorang petugas piket panti yang bertugas dalam pembinaan kesehatan, Marintan memberi informasi bahwa tak sedikit para lansia yang memiliki penyakit fisik selain gangguan jiwa. Penyakit yang banyak diderita orang tua, antara lain hipertensi, kolesterol, stroke, dan diabetes. Ada pula yang menderita penyakit kulit karena sebelumnya lama hidup di jalanan.

Marintan bercerita tidak jarang lansia yang sakit dirujuk ke sejumlah rumah sakit untuk menjalani perawatan intensif. Sebagian dari mereka pun menghembuskan napas terakhir tanpa diketahui oleh keluarganya. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan sangat diperhatikan di panti sosial dengan menyediakan perawat jaga yang bersiaga 24 jam.

Menariknya, para lansia yang mengalami gangguan jiwa malah lebih sehat secara fisik ketimbang mereka yang sehat mentalnya. Karena lansia yang mengalami gangguan jiwa kerap berjalan mengelilingi panti tiada henti setiap harinya. Tanpa bosan dan meski tanpa tujuan, aktivitas fisik itu berpengaruh pada kondisi tubuh.

Banyak juga lansia yang akhirnya dipulangkan kembali pada keluarganya atau dijemput oleh sanak saudara. "Itu target kami supaya dikembalikan ke keluarganya, kembali ke masyarakat," kata Marintan.

Selama di panti, para lansia tersebut dibuatkan jadwal berkegiatan yang berbeda-beda setiap harinya. Mulai dari senam untuk menjaga kesehatan fisik, kerajinan tangan sebagai bekal keterampilan saat kembali pulang, sampai kegiatan keagaaman seperti kosidah, pengajian, zikir, tahlilan, dan kebaktian.

Beberapa kegiatan keterampilan tersebut, antara lain pelatihan membuat keset, menjahit, berkebun, bermain angklung, dan panggung gembira. Kendati demikian beberapa kegiatan tersebut dianggap membosankan oleh para penghuni panti dan ditolak dengan alasan tidak bisa atau tidak kuat.

Kondisi kesehatan juga rutin dipantau setiap satu minggu sekali dengan didatangkan petugas kesehatan dari puskesmas, serta pelayanan fisioterapi dua kali dalam seminggu. Akan tetapi para lansia itu pun membandel jika berhubungan dengan penanganan kesehatan. "Dikasih obat kadang nggak diminum atau dibuang," terang dia.

Bagi kakek Soleh dan lansia lainnya, tinggal di panti werdha hanya soal menunggu kembali pulang ke keluarga. Atau menghabiskan masa hidup sampai akhir hayat di sana.

pin/Ant/N-3

Baca Juga: