Oleh Haryo Brono
Di Jalan Urip Sumoharjo 24, Purworejo, yang bising dengan lalu-lintas sebuah gereja dari abad 19 masih kokoh berdiri. Gereja yang sekarang bernama Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) itu, menjadi penanda alun-alun kota di sisi timur, berhadapan dengan masjidJami' Darul Muttaqindi sisi barat.
Saat Koran Jakarta menyambanginya suasana gereja tampak lengang. Tidak ada umat yang terlihat, walaupun pintu pagar gereja terbuka. Hal ini memudahkan dalam mengambil foto dari dekat. "Itu gereja tua. Banyak yang datang ke sini untuk foto-foto," kata seorang penjual es buah yang mangkal di bawah pohon, samping kiri gereja.
Cat gereja berwarna putih dengan lis berwarna merah. Sebelumnya berwarna krem dengan lis berwarna coklat tua. Bangunan bergaya klasik itu cukup menonjol dibandingkan dengan beberapa bangunan, dengan gaya arsitektur yang lebih muda di sekitarnya.
Dibangun mulai 12 November 1879 umurnya saat ini telah mencapai mencapai 142 tahun. Meski telah hampir setengah abad, bangunannya masih asli dan tetap kokoh. Padahal bahan bangunannya tidak sekuat yang ada saat ini, berupa kapur merah atau hasil tumbukan bata merah, batu kapur putih, dan pasir.
Sebagai gereja tua, keberadaan jauh sebelum bangunan gereja terbesar di kota ini, yaitu gereja Katolik Santa Perawan Maria, yang baru dibangun pada 1927oleh Romo B.J.J.Visser MSC, atau belum mencapai umur 100 tahun. Keberadaan gereja GPIB menandakan Zending sudah lama hadir di Purworejo.
Di zaman Belanda, gereja GPIB disebut "Indische Kerk" atau Gereja Pemerintah Hindia Belanda. Sebutan ini disematkan karena pemimpin gereja kala itu sekaligus sebagai pegawai pemerintah kolonial.
Menurut Buku Pendataan Teknis Gereja GPIB Kabupaten Purworejo yang dikeluarkan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Tengah Tahun 1994/1995, gereja ini memiliki ukuran8 meter dengan panjang 23 meter.
Gaya arsitektur kolonial terlihat dari pilar dan pilaster atau elemen dekoratif di bagian depan bangunan. Pilaster bercorak gayaneo gothicyang asalnya dari Yunani, terlihat di bagian depan dan samping bangunan.
Pada bagian depan bangunan gereja terdapat teras berdenah ukuran 1,5 x 3 meter di depan pintu utama. Penutup teras dari beton bertulang berbentuk lengkung setengah lingkaran yang ditahan 2 pilar kolom dengan garis tengah 50 cm, dan 2 buah pilaster.
Atap bangunan berbentuk pelana dengan kemiringan 50 derajat, tanpa tritisan. Konstruksi atap kuda-kuda dari kayu jati dengan penutup atap genteng flams. Kuda-kuda berjarak 3 meter menumpu pada pilar tembok ukuran 60 x 60 cm, dan dinding setebal 30 cm dengan ketinggian beberapa meter dari lantai.
Delapan Jendela
Di atas tembok sisi utara dan selatan terdapat talang kantong gorong-gorong air, dan paralon. Langit-langit bangunan utama terbuat dari kayu jati berada di bawah kuda-kuda. Secara struktural, bangunan utama terdiri dari satu ruangan dengan satu buah pintu utama dan lima buah pintu penghubung serta sebagai penerangan terdapat delapan buah jendela.
Jendela berbentuk lengkung lancip pada puncaknya. Secara fungsional bangunan utama memiliki tiga ruangan, yaitu ruang mimbar, ruang jemaat, dan ruang transit. Ruangan mimbar berukuran 130 x 180 cm, dengan lantai tegel "gelar" abu-abu setinggi 80 cm dari lantai jemaat.
Pembatas mimbar berupa dinding dari papan jati setinggi satu meter. Di depan mimbar, selebar ruang utama dibuat altar dengan ketinggian 40 cm dari lantai ruang jemaat. Sedangkan ruang jemaat memiliki ketinggian 60 cm dari tanah halaman.
Lantainya terbuat dari peluran yang dibuat nat-nat interval 53 cm. Sedangkan, ruang transit merupakan sebuah ruangan berdenah ukuran 3 x 3 meter dinding papan jati dengan tiga buah pintu. Ruang transit terletak di sebelah dalam pintu utama.
Dalam sejarahnya gereja ini diwarnai dengan perebutan pengaruh, meski tidak dijelaskan secara rinci apa yang pernah terjadi. "Setelah melalui perjalanan yang tidak mudah, dimulai dari pewartaan Injil oleh Christina Petronella atau Nyonya Philips, jemaat mengalami berbagai perubahan. Namun jemaat Kota Purworejo memilih tetap dalam asuhan Zending," demikian bunyi tulisan di depan gereja.
Lokasinya dekat dengan alun-alun sebagai area publik cukup mudah untuk menemukan gereja tersebut. Selain menjadi penanda kota, gereja ini menjadi bukti terjaganya toleransi beragama di kota kecil Purworejo dari dulu hingga kini.