Selama tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai cukup garang dalam menjalankan tugasnya. Sejumlah pejabat pemerintah pusat maupun daerah berhasil ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan atau OTT.

Keberanian dan keberhasilan tersebut patut diapresiasi. Akan tetapi, di balik itu semua ternyata masih ada kasus yang belum terselesaikan oleh lembaga antirasuah tersebut.

Tidak dipungkiri secara kelembagaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi, KPK lebih dipercaya publik dibanding dua lembaga penegak hukum lainnya. Dan kasus-kasus yang ditangani KPK lebih efisien dan lebih cepat dalam penanganannya. Hal ini karena fungsi penyidikan dan penuntutan satu atap. Berbeda dengan penanganan kasus korupsi di kepolisian atau kejaksaan yang fungsi penyidikan dan penuntutan tidak berada dalam satu atap.

Sebagai contoh, perkara kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT Tuban Petrochemical Indonesia sudah bolak-balik antara penyidik Polri dan Kejaksaan sebanyak empat kali atau P 19, sedangkan kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus dugaan korupsi PT Tuban Petrochemical Indonesia lebih besar dari kasus e-KTP.

Selain memberikan apresiasi terkait kinerja yang cukup baik dari sisi kelembagaan, KPK lebih bersih dibanding lembaga penegakan hukum lainnya. Hal ini harus kita akui, dan bisa kita lihat secara kasatmata.

Meski demikian, publik juga tidak bisa menutup mata dengan adanya kekurangan yang harus diperbaiki oleh lembaga antirasuah tersebut, seperti penegakan hukum KPK yang tidak berjalan baik dalam mengusus kasus-kasus besar, contohnya inkonsistensi KPK dalam mengusut kasus korupsi Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah terlalu lama dan hingga kini belum juga ada perkembangan yang berarti.

KPK seharusnya segera mengusut tujuh orang yang disebut dalam dakwaan Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, yang ikut terlihat dalam kasus tersebut. Namun, satu tahun sejak vonis terhadap Budi Mulya dijatuhkan, KPK tak juga mengusus tuntas kasus korupsi yang merugikan negara hingga tujuh triliun rupiah lebih itu.

Kekurangan KPK lainnya adalah bagian inteligen. Kenapa kita sebut kekurangan? Karena KPK yang menunggu laporan masyarakat soal korupsi, bisa saja sang pelapor asal masyarakat itu adalah inteligen hantu, yang bertujuan menjatuhkan seseorang.

Banyaknya keberhasilan yang diraih, dan banyaknya dukungan dari publik ditambah dengan pemberitaan dari media massa mainstream, diduga KPK tidak mampu untuk mengintrospeksi diri untuk membenahi kekurangannya tersebut.

Ke depan, KPK diharapkan dapat berjiwa besar untuk melakukan introspeksi diri mengajak bicara pihak-pihak lain untuk mengetahui mana kekurangan tidak hanya menikmati keberhasilan yang selalu dipernontonkn ke publik. Dengan hal tersebut maka keberhasilan KPK dalam melakukan bersih-bersih di negeri ini akan semakin sempurna dan lebih tepat sasaran.

Perbaiki Sistem

Sepanjang 2017, KPK telah melakukan pendampingan di 12 provinsi untuk perbaikan sistem tata kelola pemerintahan. Ke-12 provinsi itu adalah Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian, hingga saat ini, KPK telah mendampingi 22 provinsi termasuk di dalamnya 380 kabupaten/kota.

Ketua KPK, Agus Rahardjo mengakui meski provinsi-provinsi tersebut sudah didampingi masih ada juga kendala perbaikan sistem contohnya dengan tertangkapnya pejabat provinsi tersebut dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.

KPK melakukan OTT pada Juni 2017 terhadap Gubernur Bengkulu periode 2016-2021, Ridwan Mukti, dan istrinya, Lili Martiani Maddari. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap terkait proyek-proyek di lingkungan pemerintah provinsi Bengkulu tahun anggaran 2017.

Pendampingan perbaikan tata kelola pemerintahan itu dilakukan KPK dalam tujuh bidang yaitu sistem administrasi perencanaan, penganggaran, perizinan, pengadaan barang/jasa, penguatan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), tata kelola kesamsatan, dan tambahan penghasilan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah.

KPK mencatat alokasi dana APBD yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat sehingga pelayanan publik tidak dapat disajikan lebih baik karena alokasi dana yang minim. "Di sisi lain, pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari APBD sudah 'diatur' sejak perencanaan, sehingga proses pengadaannya sendiri tidak bermakna lagi karena barang atau jasa yang dihasilkan bukanlah yang terbaik dari sisi harga maupun kualitas. Aplikasi e-Planning dan atau e-Budgeting menjadi sistem yang direkomendasikan KPK dalam proses penyusunan APBD," tambah Agus.

Untuk proses pengadaan barang dan jasa, KPK mendorong diimplementasikannya sistem e-procurement yang sudah dibuat oleh LKPP, juga dengan pendirian Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang mandiri, termasuk SDM pengelola yang independen.

KPK juga mendorong penggunaan e-Catalog lokal di daerah tujuannya agar proses pengadaan berjalan lebih terbuka sehingga menghasilkan output pengadaan yang efektif dan efisien. n E-3

Baca Juga: