"Panglipur wuyung lagu rikala putrinipun bu Wal tilar donya taksih Sd th akhir 70-an, mangke kula caosi, kula nembe wnt Kalisalak Banyumas nenggani jamasan pusaka Sinuhun Amangkurat Jawi...."

Kutipan bait syair itu dilantunkan bersama penyanyi keroncong Waljinah (72) dan penyanyi yang dikenal sebagai pesinden, Sruti Respati, sebelum pembukaan Konferensi Kota Batik, membuat hadirin menitikan air mata, termasuk Ketua Yayasan Warna-Warni Indonesia (YWWI), Nina Akbar Tandjung. "Saya ikut menangis, " ungkap Nina kepada Koran Jakarta.

Konferensi Kota Batik Nusantara (KKBN) dengan tema "Batik dan Perubahan Sosial" yang diselenggarakan YWWI dengan Pemkot Surakarta, diadakan di Wisma Batari, jalan Slamet Riyadi, Solo, pekan lalu, diawali dengan Workshop Batik di Hotel Baron Surakarta.

Hingga kini, batik telah berkembang sebagai salah satu warisan tradisi yang diakui dunia internasional. Keberadaan batik yang melampaui dimensi spasial-temporal telah melewati masa panjang. Motif-motif batik pun bermunculan sebagai saksi dan bukti dari perubahan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, narasi di balik batik selalu kaya akan simbol perubahan sosial. Namun, nuansa sosial historis di balik ragam batik ini masih belum banyak dikaji. Padahal, gambaran perubahan sosial yang tercermin dalam motif batik akan mengangkat nilai batik itu sendiri.

Namun, aspek kesejarahan batik yang sarat dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang berderap seirama dengan perkembangan zamannya, cenderung terabaikan.

"Hal inilah yang melatari kerja sama antara YWWI dengan Pemkot Surakarta dalam menggelar KKBN bertema, "Batik dan Perubahan Sosial," ujar Nina Tandjung.

Tujuan besar dari acara ini adalah untuk membuka sejarah dan memberikan referensi tentang keberadaan batik yang mengalami perkembangan sedemikian rupa, tanpa meninggalkan pokoknya, yaitu motif-motif klasik dan proses penciptaannya.

Konferensi ini tak hanya diisi talk show, namun juga memperkenalkan karya-karya batik terbaik yang pernah menandai perubahan sosial serta dimensi kesejarahan pada zamannya. Batik-batik karya Hardjonagoro dan koleksi Iwan Tirta yang dimiliki Ibu Winni Ponco Sutowo turut dipamerkan pada kesempatan ini. Konferensi ini juga diramaikan Danar Hadi yang pada Desember ini merayakan 50 tahun kiprahnya dalam dunia batik. Selain itu, ditampilkan pula peragaan batik motif 'basurek' dan motif-motif unik lainnya. Fashion show yang digelar secara apik ini disajikan Djongko Raharjo.

"Karya-karya batik yang diperkenalkan dalam KKBN ini dapat dijadikan referensi oleh segenap pemangku kepentingan untuik mengembangkan batik ke depan, tanpa harus tercerabut dari akar budayanya, yakni motif klasik dan proses penciptaan. Kemajuan teknologi tak bisa dihindari, namun justru harus digali hingga menjadi kekuatan atas batik itu sendiri," papar Nina Tandjung

Perkembangan batik di Kota Surakarta sendiri memang tidak bisa terlepas dari peran tokoh-tokoh setempat, seperti almarhum Go Tik Swan yang menciptakan batik dengan ragam warna baru. Pada konferensi ini, pemikiran Go Tik Swan akan dipaparkan oleh ahli warisnya yaitu Ibu Anggraini Supiah. Beliau akan berbagi informasi seputar batik yang telah ditekuni Go Tik Swan semasa hidup. Untuk memperkaya referensi tentang bagaimana batik mengalami perkembangan seiring dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, peneliti batik Rahmad Bahari, Solichul Hadi Achmad Bakri, dan narasumber lainnya juga turut meramaikan jalan konferensi.

Selain demi mencerahkan publik mengenai jagad batik, KKBN juga mengajak masyarakat memiliki kesadaran spasial historis demi mewujudkan kota yang ramah sejarah. Karenanya, pemilihan Wisma Batari sebagai venue pun memiliki alasan tersendiri. Wisma Batari memiliki jejak sejarah mengenai betapa batik pernah menjadi alat perlawanan. Keberadaan gedung yang merupakan kantor Koperasi Batik Timur Asli (Batari) ini adalah bukti perlawanan terhadap dominasi Timur Asing.

Dalam bingkai yang lebih luas, KKBN ini dengan sendirinya menjadi napak tilas terhadap bagaimana sebuah perubahan sosial dapat mewujud pada sehelai batik. Napak tilas dalam KKBN ini pun menjadi kian lengkap dengan diluncurkannya film dokumenter produksi YWWI, "Hikayat Kampung Batik Surakarta." sur/R-1

Diakui Unesco

Rachmad Bahari mengungkapkan, penemuan teknik penggunaan canting cap atau stempel berbahan tembaga telah membuat waktu pembuatan lebih singkat dan dapat diproduksi massal. Ini dipelopori RM Resodipo Djiwanggono dari Kampung Kauman berlanjut ke Tegalsari dan berkembang pesat di Laweyan (sekitar pertengahan abad ke 19). Dengan demikian telah melahirkan kekuatan ekonomi baru di kalangan kelompok marginal (munculnya para saudagar batik sebagai kelompok borjuasi muslim Bumiputera). Stratifikasi sosial baru di kalangan kelompok marginal karena kekuatan ekonomi (muncul sebutan mas nganten dan mbok mase)

Namun, di masa Pendudukan Jepang, industri batik mati suri, karena pemerintah pendudukan militer Jepang (Gunseikanbu) tidak peduli perkembangan industri dan perdagangan di Tanah Air.

Pada 2 oktober 2009 batik telah ditetapkan Unesco sebagai salah satu warisan budaya dunia nir bendawi (intangible) dari Indonesia. Penetapan tersebut menjadi benchmark bagi perjalanan dan kemajuan di masa depan. Sejak dasawarsa 70an produk batik mulai digunakan untuk berbagai keperluan yang lebih luas, bukan sekadar produk sandang. Batik mulai merambah bagi peruntukan upholstery, alas kaki, dan peruntukan lainnya.

Sementara bantuan teknologi informasi telah memungkinkan pembuatan desain batik dengan bantuan komputer. Saintifikasi batik menggunakan metoda fraktal yang dikembangkan Hokky Situngkir telah memudahkan penciptaan desain pola dan motif lebih kaya dan variatif. Saat ini ada pihak yang melakukan pembatikan menggunakan plotter. Penempelan malam cair panas tidak menggunakan canting atau stempel tetapi menggunakan nozzle yang dikendalikan komputer. Percobaan tersebut masih terus disempurnakan.

Dari serangkaian kisah jatuh bangun industri batik ini, bisa disimpulkan, kehadiran industri batik yang padat karya telah menjadi salah satu kanal penyelamat yang menampung lonjakan tenaga kerja di masa lampau. Kesejahteraan yang pernah dialami para pengusaha batik, hanya sedikit menetes ke bawah. Pekerja yang lainnya belum pernah mengalami peningkatan kesejahteraan secara signifikan. Ke depan hal itu tidak boleh terjadi lagi. Antara pengusaha dan tenaga kerja harus maju bersama, sesuai porsi masing-masing. Dan yang terpenting, dunia batik masih menjadi peluang usaha yang menjanjikan. sur/R-1

Baca Juga: