Oleh Ribut Lupiyanto
Kecelakaan pembangunan konstruksi terus terjadi. Kasus terakhir ambruknya penyangga konstruksi tiang pancang proyek Tol Becakayu Selasa (20/2). Sebelumnya telah terjadi 12 kali kecelakaan konstruksi atas (elevated). Kecelakaan menimbulkan risiko keselamatan pekerja maupun masyarakat. Kementerian Tenaga Kerja melaporkan, tenaga kerja sektor jasa konstruksi ada 4,5 juta (8 persen) dan menyumbang 6,45 persen PDB.
Sayangnya, 53 persen pekerja tersebut hanya berpendidikan Sekolah Dasar dan 1,5 persen tidak sekolah. Pemerintah kini sedang memacu penyelesaian pembangunan berbagai insfrastruktur khususnya jalan tol. Sebaran yang luas tentu ada risiko masyarakat sekitar dan pengguna. Apresiasi patut diberikan atas langkah menghentikan sementara seluruh pembangunan proyek jalan melayang (elevated).
Investigasi mendalam, forensik konstruksi, dan audit keselamatan mesti dilakukan pada berbagai kasus kecelakaan serta seluruh proyek pembangunan. Kecelakaan dalam konstruksi umumnya saat pembangunan hingga operasionalisasi. Saat pembangunan terdiri dari kecelakaan kerja maupun dampak sekitarnya. Risiko kecelakaan kerja paling banyak terjadi pada pekerjaan yang dilakukan ketinggian dan galian.
Sedangkan kecelakaan operasionalisasi umumnya setelah selesai pembangunan atau beroperasi lama. Kejadian setelah pembangunan, dapat diduga karena faktor pengerjaan kurang sempurna atau tak sesuai dengan standar. Jika terjadi dalam kurun agak lama, dapat diduga karena pemeliharaan tidak baik atau beban melebihi ambang batas.
Kondisi tadi merupakan risiko yang harus diantisipasi melalui penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). K3 menurut Mangkunegara (2002) adalah upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan tenaga kerja. Berbagai regulasi telah mengatur penerapan K3 di Indonesia, antara lain UU No 1 Tahun 1951 tentang Kerja, UU No 2 Tahun 1952 tentang Kecelakaan Kerja.
UU No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Permenaker No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Instruksi Menaker No 5 Tahun 1996 tentang Pengawasan dan Pembinaan K3 pada Kegiatan Konstruksi Bangunan.
Permenaker No 5 Tahun 1996 tentang SMK3 (Sistem Manajemen K3). Permen PU No 9/PRT/M/2008 Pedoman Sistem tentang Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum. Hasril (2017) menjelaskan, K3 dalam proyek konstruksi meliputi safety engineering, construction safety, dan personal safety. Penyebab dan pencegahan kecelakaan konstruksi antara lain faktor manusia dan teknis.
Faktor manusia paling dominan. Penyebabnya antara lain pekerja heterogen, tingkat skill dan edukasi berbeda, dan/atau pengetahuan tentang keselamatan rendah. Sedangkan faktor teknis berkaitan dengan kegiatan kerja proyek. Antara lain penggunaan peralatan dan alat berat, penggalian, pembangunan, serta pengangkutan. Penyebabnya kondisi teknis dan metode kerja tidak memenuhi standar keselamatan.
Material dalam kondisi tertentu bisa membahayakan pekerja. Untuk itu perlu penanganan yang baik meliputi mobilisasi bahan dan cara penyimpanan material, serta penempatan peralatan kerja yang teratur.
Strategi
Penerapan manajemen K3 menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi guna menekan kecelakaan konstruksi. Implementasinya mesti direncanakan dengan persiapan baik serta diawasi ketat. K3 harus terlaksana ketat sesuai standar, tidak hanya formalitas atau pemenuhan administrasi.
Penyebab faktor manusia dapat dicegah dan diminimalisasi melalui pemilihan tenaga kerja, pelatihan sebelum mulai kerja, serta pembinaan dan pengawasan selama kegiatan berlangsung. Kontraktor harus memiliki prosedur kerja aman, identifikasi potensi bahaya, project safety review, serta pembinaan dan pelatihan. Pada tahap persiapan kajian K3 diperlukan untuk meyakinkan, proyek dibangun dengan standar keselamatan yang baik sesuai dengan persyaratan. Kajian K3 yang mencakup keandalan dalam rancangan dan pelaksanaan pembangunannya.
Pembinaan dan pelatihan K3 wajib diberikan semua pekerja dari level terendah sampai tertinggi. Pelaksanaannya, saat proyek dimulai dan dilakukan secara berkala. Selanjutnya, penyebab faktor teknis dapat dicegah dan dminimalisasi melalui beberapa upaya. Antara lain perencanaan kerja yang baik, pemeliharaan dan perawatan peralatan, pengawasan dan pengujian peralatan kerja, penggunaan metoda dan teknik konstruksi yang aman, serta penerapan sistem manajemen mutu.
Selain itu terdapat faktor non teknis yang sifatnya kontemporer dan tidak langsung namun efeknya terasa pada kualitas konstruksi. Faktor tersebut adalah jebakan lingkaran setan korupsi. Pengadaan jasa konstruksi rentan terkena virus korupsi yang sistemik. Pelicin finansial mulai dari penganggaran, pengadaan, hingga pengawasan turut memicu kualitas yang tidak sesuai spesifikasi harapan. Bahkan efek buruknya adalah terjadi kecelakaan hingga kerusakan dini bangunan konstruksi.
Fenomena tadi berpotensi mendorong terjadinya mark up, manipulasi administrasi, hingga penurunan kualitas material. Langkah komprehensif mesti dilakukan mulai dari pencegahan hingga penindakan. Budaya semacan itu mesti diputus sejak hulu. Sinergi penting terjalin intensif antara pemerintah, inspektorat, auditor, kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Transparansi dibudayakan dan diwajibkan dalam dunia konstruksi guna mengoptimalkan peran pengawasan baik dari konsultan, independen, maupun masyarakat luas.
Jaminan kesejahteraan dan keselamatan tenaga kerja juga diperhatikan. Asuransi ketenagakerjaan diberikan kepada tenaga kerja yang terlibat. Pengerjaan konstruksi jangan sampai disubkontrakkan ke perusahaan lain, kecuali sudah izin pemilik pekerjaan dan mengikuti regulasi. Langkah ke depan dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas tenaga kerja konstruksi di seluruh level.
Penegakan hukum atas kasus kecelakaan konstruksi ditegakkan. Ruang penyelidikan diberikan kepada kepolisian dan Komite Keselamatan Konstruksi. Efek jera penting ditumbuhkan agar pelaku jasa konstruksi lebih berhati-hati serta tidak berani melanggar prosedur dan standar.
Infrastruktur merupakan salah satu faktor penting perekonomian. Pembangunannya dengan demikian mesti dijamin kualitas, keselamatan, keadilan, dan keberlanjutannya. Orientasi kualitas dan kemanfaatan kepada masyarakat luas diprioritaskan di atas kepentingan kuantitas. Apalagi kepentingan pencitraan politik mesti dijauhkan karena rentan mengabaikan kualitas.
Penulis Sekretaris Umum Asosiai Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia