Terus berkurangnya luas lahan menunjukkan keterbatasan untuk menyediakan pangan bagi ratusan juta penduduk.

Keberadaan Badan Pangan belum mampu mengatasi kebijakan pangan yang amburadul.

JAKARTA - Imbauan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memacu produktivitas pangan dalam negeri sebagai langkah antisipasi dari ancaman kelaparan dan krisis pangan global segera ditindaklanjuti. Tindak lanjut yang harus dilakukan saat ini adalah mereformasi kebijakan sektor pertanian secara menyeluruh.

Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan reformasi mendesak agar bisa mencegah krisis pangan akibat konflik geopolitik global serta ancaman perubahan iklim yang menghambat produktivitas.

Kepala Penelitian CIPS, Felippa Ann Amanta, dalam keterangan resmi yang dikutip dari Antara, Jumat (24/6), mengatakan diperlukan pemahaman dari semua pihak kalau sistem pangan itu kompleks, terdiri atas produksi, distribusi, rantai pasok, dan juga perdagangan internasional. "Membenahi salah satu saja tidak akan cukup karena semuanya saling menopang dalam memastikan ketersediaan pangan untuk konsumen," kata Felippa.

Global Food Security Index 2021, jelasnya, menempatkan Indonesia di posisi 69 dari 113 negara. Indeks itu juga menunjukkan Indonesia berada di peringkat 113 dari 113 dalam kategori Sumber Daya Alam dan Ketahanan, yang dapat diartikan Indonesia memiliki kerentanan terhadap risiko sumber daya alam, perubahan iklim, dan adaptasi terhadap risiko-risiko tersebut.

Selain itu, Indonesia menempati peringkat ke-54 dalam kategori Keterjangkauan dan peringkat ke-95 dalam kategori Kualitas dan Keamanan.

Peringkat-peringkat tersebut, jelasnya, merefleksikan bahwa kebijakan pertanian yang sudah dijalankan perlu dievaluasi dan diadaptasi supaya bisa menjawab tantangan dari risiko-risiko yang ada. Swasembada yang sering kali dijadikan tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian, sudah tidak relevan untuk Indonesia.

"Terus bertambahnya jumlah populasi dan terus berkurangnya luas lahan pertanian sudah menunjukkan ada keterbatasan pada daya dukung lahan untuk menyediakan pangan bagi ratusan juta penduduk. Kita perlu memanfaatkan keterbatasan yang ada dengan metode yang lebih efisien dan tidak membahayakan lingkungan," kata Felippa.

Kebijakan pertanian, paparnya, perlu diarahkan pada intensifikasi yang fokus pada pemanfaatan lahan yang sudah ada dengan menggunakan input pertanian berkualitas. Kebijakan itu dapat mendukung sistem pertanian berkelanjutan dengan memastikan lingkungan bisa terus memberikan manfaat kepada manusia, dengan cara-cara yang aman.

Peneliti CIPS lainnya, Aditya Alta menyebut upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura mendesak dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi sektor pertanian di Tanah Air, seperti penambahan jumlah penduduk, berkurangnya lahan produktif dan peningkatan daya beli masyarakat.

Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura diharapkan juga bisa meningkatkan daya saing pertanian nasional. Statistik menunjukkan produktivitas padi, kedelai, dan bawang merah cenderung mendatar dalam beberapa tahun terakhir dengan masing-masing di angka 5 ton gabah kering giling per hektare, lalu 1,5 ton biji kedelai kering per hektare, dan 10 ton bawang per hektare.

Ketimpangan Produktivitas

Lebih lanjut dikatakan, ketimpangan produktivitas tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai) antara wilayah Jawa dan luar Jawa juga merupakan isu yang penting untuk diselesaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan kebijakan pangan di Indonesia memang harus segera dibenahi, dari yang bersifat jangka pendek sampai yang berjangka panjang.

"Dalam jangka pendek, stabilisasi pangan harus lebih intensif untuk mencegah gejolak harga, sedangkan dalam jangka panjang perlu merencanakan pengolahan pangan berbasis komoditas lokal yang tersedia dalam jumlah cukup.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan selain reformasi kebijakan pertanian, hal yang tidak kalah penting adalah masalah kebijakan pangan.

"Kebijakan pangan kita seolah tumpang tindih antara satu instansi dengan instansi lainnya. Adanya Badan Pangan juga belum mampu mengatasi kebijakan pangan yang amburadul," kata Nailul.

Baca Juga: