Meskipun masih ada beberapa isu krusial dalam RUU Pemilu, Mendagri Tjahjo Kumolo berharap itu bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat.

JAKARTA - Pemerintah masih berharap beberapa isu krusial dalam Rancangan Undang- Undang Penyelenggaraan Pemilu bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat. Dengan begitu, tak diperlukan jalan penyelesaian lewat voting. Perbedaan tersebut akan membawa kematangan dalam berdemokrasi.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, mengatakan itu di Jakarta, Jumat (14/7). Menurut Tjahjo, selama lebih kurang enam bulan pembahasan RUU Pemilu dilakukan, selama itu pula dinamika muncul. Semua pihak yang terlihat sungguh-sungguh ingin menempuh jalan musyawarah mufakat untuk mengatasi berbagai perbedaan pemikiran. Terkait lima isu subtansi atau krusial yang juga belum disepakati, tambah Mendagri, sikap pemerintah telah terang benderang.

Prinsipnya pemerintah memahami dinamika pandangan fraksi-fraksi terhadap lima isu tersebut. Pemerintah sejak awal ingin berupaya menjaga agar normanorma pengaturan dalam RUU ini memberi nilai tambah. Menurut Mendagri, semua itu memberi dampak kemajuan dalam pembangunan sistem politik ketatanegaraan. Untuk itu, pemerintah berpandangan hal-hal baik yang telah diatur dalam UU Pemilu sebelumnya dan telah dipraktikkan dalam beberapa pemilu layak dipertahankan.

"Pertama soal presidential threshold. Pemerintah akan mempertahankan presidential threshold 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional," kata Tjahjo. Pertimbangannya, presidential threshold telah teruji dilaksanakan dalam dua kali pemilu yang telah menghasilkan presiden dan wakil presiden sebagai pemimpin nasional yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945. Tjahjo menambahkan terkait pembahasan RUU Pemilu, seolah-olah yang diributkan hanya UUD 1945. Padahal harusnya soal bagaimana membuat UU sebagai pelaksanaan dari konstitusi. Sekarang ini pembahasannya adalah membahas UU. Maka kalau UU Pemilu yang sedang dibahas pun dasarnya adalah konstitusi. Presidential threshold contohnya.

Kuatkan Sistem

Ini sudah berjalan selama dua pemilu. Bahkan, telah diterima dan disetujui oleh partai politik peserta pemilu yang keberadaannya konkret di tengah masyarakat. Sekarang pemerintah ingin menguatkan sistem presidensial." Dari itu kenapa kita meributkan 20 persen kursi dan 25 persen suara. Bahkan ada yang ingin nol persen," katanya. Bagi Tjahjo, jika kembali ke nol persen, itu namanya kemunduran demokrasi. Padahal harusnya lebih maju lagi.

Pemerintah ingin menguatkan sistem demokrasinya, termasuk menguatkan keseimbangan antara DPR dan pemerintah. "Kalau dihubungkan dengan jumlah calon dulu juga ada emnapat, lalu menjadi tiga di 2009. Terakhir ada dua di 2014. Demikian juga partai yang mendukung pemerintah tentunya harus konsekuen dan konsisten memperkuat sistem pemerintahan presidensil," tutur Tjahjo.

Terkait ambang batas parlemen, Tjahjo berpendapat itu adalah salah satu instrumen yang positif dan teruji mampu mengonsolidasikan fragmentasi kekuatan politik di parlemen. Pemerintah setuju peningkatan ambang batas parlemen yang dalam UU sebelumnya dari 3,5 persen menjadi 4 persen.

Terkait sistem pemilu, pemerintah memahami perbedaan pandangan antara sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup. Pemerintah telah menawarkan jalan tengah melalui sistem proporsional terbuka terbatas. Namun, setelah mendengar dan mendalami alasan-alasan sosiologis dalam praktik sistem pemilu maka untuk Pemilu 2019, pemerintah setuju masih menggunakan sistem proporsional terbuka.

ags/fdl/N-3

Baca Juga: