Dalam kegelapan ada setitik 'berkah' dan harapan yang terpancar di mata masyarakat yang hidup di desa terpencil Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Hingga kini, masih tergiang suara bising mesin genset di rumah Daino, guru di Desa Sungai Dungun, Kecamatan Terentang Hulu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Desiran suaranya saat itu seolah membungkam kesunyian malam, suara merdu jangkrik pun, hanya sayup terdengar.

Daino berkelakar, desanya yang sejak 1965 sampai sekarang belum tersentuh listrik, sudah biasa menikmati hidup dalam kegelapan. "Kalau dihitung-hitung sudah 50 tahun lebih desa ini gelap gulita, dari orang yang baru lahir sampai mati selalu ditemani kegelapan," ungkapnya.

Sungguh pengalaman luar biasa. Rumah Daino seolah menyatu dengan gemerlapnya bintang di langit, jarak pandang ke rumah tetangga pun kabur di kegelapan, yang tampak hanya titik-titik cahaya penerangan dari kejauhan.

Titik-titik cahaya itu pun tak selalu bersinar, Daino menceritakan dirinya hanya menggunakan listrik dari genset mulai dari jam 6 sore sampai 10 malam. "Di waktu itu saya biasanya gunakan untuk hiburan anak menonton TV, cas senter, powerbank, smartphone dan lain sebagainya. Setelah itu, peneranganya paling pakai senter atau pelita (lampu minyak solar)," ceritanya.

Diakui Daino, sumber pencahayaan yang ideal sejauh ini masih berasal dari mesin genset, meski bising, aliran listrik yang dihasilkan sangat maksimal, ketimbang sumber listrik lain seperti panel surya misalnya.

"Kalau panel surya hanya kuat untuk penerangan saja, harganya sekitar 4 jutaan rupiah, tapi sayangnya kalau menonton TV payah. Berbeda dengan genset, dia kuat selagi ada modal untuk beli bahan bakarnya," sambungnya.

Biaya yang dibutuhkan untuk mengoperasikan genset terhitung mahal. Daino menjabarkan, untuk pemakaian selama 4 jam membutuhkan bahan bakar solar 4 liter, 1 liternya harga jual solar di desanya dikisaran 10 ribu rupiah.

Secara keseluruhan modal untuk pencahayaan yang dikeluarkan Daino setiap bulannya sebesar 450 ribu rupiah. Besaran kebutuhan itu sangat membebani, karena penghasilannya sebagai guru per bulan hanya 500 ribu rupiah.

Nasib serupa juga dialami tetangganya, rata-rata mata pencarian masyarakat di Desa Sungai Dungun ialah buruh kasar di perusahaan sawit. Mereka per hari dibayar sekitar 70 ribu rupiah. "Jelas tidak seimbang, untuk bahan bakar genset 40 ribu sehari, 30 ribu rupiah cukup enggak untuk makan di rumah? Mereka memang punya lahan pribadi untuk ditanami Sawit, Karet, tapi tidak semua bisa menghasilkan," ungkapnya. ima/R-1

Berbahan Bakar Minyak Goreng

Lampu pelita, merupakan lampu penerangan paling terjangkau masyarakat di desa terpencil tujuan transmigrasi ini. Hanya saja pencahayaan berbahan bakar solar tersebut mengeluarkan asap tebal, dan mudah sekali terhirup dalam tubuh.

"Asapnya ngebul, walapun kita tidur di kamar, lampu pelitanya itu kita letakan di ruang tamu. Pagi-pagi pasti hidung kita hitam, asapnya terhirup pas kita napas," papar Muryati.

Anak-anak yang paling terdampak dari asap hasil pembakaran lampu pelita, dari 1992 sampai sekarang, lampu yang terbuat dari kaleng minuman itu masih digunakan untuk menerangi meja belajar. "Tanpa sadar, anak-anak menjadi batuk. Kalau batuk terus menerus kita bawa ke Puskesmas, biayanya yang dikeluarkan kisaran 50-60 ribu rupiah," ungkapnya lagi.

Dalam perjalanan ini, Lumir Inc, perusahaan asal Korea bekerja sama dengan Korea Trade Center (KOTRA) atau badan promosi perdagangan Korea turut menggelar proyek CSR dengan mendistribusikan 100 lampu Lumir K ke 100 rumah tangga ke Terentang Hulu, Kalimantan Barat.

Lumir K merupakan lampu berbahan bakar minyak goreng atau minyak kelapa sawit. Daino yang sudah menjajal Lumir K sejak April 2017, menjelaskan manfaat yang paling terasa ialah lebih ekonomis, karena tidak membutuhkan bahan bakar khusus. "Ketika genset saya mati, untuk menyambung pencahayaan sampai pagi menggunakan Lumir K, pengeluarannya hemat karena menggunakan minyak goreng. Minyak bekas goreng tempe atau ikan asin pun bisa digunakan pada lampu ini," terang Daino.

Berbeda dengan lampu pelita, Lumir K tidak berasap sehingga lebih dapat menjaga kualitas udara dalam ruangan. "Risiko lain yang berbahaya itu kebakaran, kalau Pelita tersengol saja solar dengan cepat merambat dan membakar rumah, sedangkan minyak goreng tidak memicu kebakaran," tandasnya.

Diharapkan, lampu ini dapat membantu anak-anak belajar secara efektif sehingga ke depan mampu melahirkan generasi penerus yang unggul. ima/R-1

Lima Televisi TV

Sekitar pukul 5 sore, Koran Jakarta berkesempatan menelusuri lebih dalam ke Desa Sungai Dungun, yaitu menuju Dusun Makarti Jaya, waktu tempuh sekitar 45 menit dari rumah Daino.

Dusun Makarti Jaya diketahui berdiri sejak 1992, hingga kini aliran listrik tak kunjung sampai di wilayah pemukiman yang memiliki 28 kepala keluarga (KK) ini. "Kalau malam hiburan yang kita andalkan yah, ngobrolngobrol saja dalam rumah bareng keluarga, atau minimal dengerin musik dari handphone. Habis gelap di luar tidak ada yang bisa kami lakukan," sambung Muryati (42).

Meski getir hidup dalam kegelapan, Muryati dan Kasianus (47) tidak menjadikan kekurangan itu sebagai beban, sembari terus berharap dusunnya dialiri listrik, dan merasakan terangnya malam.

Kasianus menambahkan, meski hidup serba terbatas ada yang patut disyukuri yaitu rasa kebersamaan yang dimiliki warga dusunnya. Dari 28 KK hanya 5 warga yang memiliki TV. "Saya terakhir nonton TV itu sekitar Oktober kemarin, pas ada kompetisi sepak bola GoJek Traveloka Liga I. Itu sering kita tonton, karena warga saling memberi tahu termasuk yang punya TV. Warga umumnya akan urunan dana untuk sekadar membeli camilan, ramai sekali pokoknya," ungkapnya.

Yang paling ditakutkan masyarakat sebenarnya bukan gelapnya malam, tapi lebih pada nasib anak-anak mereka yang memerlukan pencahayaan untuk belajar dan memperoleh informasi penting di luar daerahnya. "Anak-anak harus belajar dan memahami dunia luar, saya yang sudah tua seperti ini mau apa. Mereka yang mudamuda harus bisa lebih baik dari kami," jelas Kasianus. ima/R-1

Baca Juga: