LONDON - Para peneliti Inggris, baru-baru ini mengatakan lapisan es raksasa yang menutupi Antartika sedang menghadapi ancaman yang tidak terlihat. Ancaman yang dapat menambah kenaikan permukaan air laut di seluruh dunia. Ancaman itu karena mencair dari bawah.

Dikutip dari The Straits Times, saat bumi memanas, volume air hangat yang lebih besar membanjiri bagian bawah lapisan es Antartika Barat, yaitu lidah es raksasa di ujung gletser. Besarnya lapisan es ini mencegah es di darat mengalir lebih cepat ke laut terbuka.

Maka ketika lapisan es tersebut mencair dan menipis, semakin banyak daratan es yang bergerak menuju lautan, yang pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan permukaan laut. Membatasi emisi bahan bakar fosil mungkin bisa membantu memperlambat pencairan ini, namun para ilmuwan belum yakin seberapa besar emisi itu.

Kini, para peneliti di Inggris telah menghitung angka-angka itu dan sampai pada kesimpulan yang menarik. Pada dasarnya, percepatan pencairan es sudah terjadi dalam jumlah tertentu. Sekalipun negara-negara membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius, hal itu tidak akan banyak membantu menghentikan penipisan itu.

Mempertahankan suhu di bawah 1,5 derajat Celsius adalah tujuan paling ambisius dari Perjanjian Paris, dan saat ini, hal tersebut sepertinya tidak mungkin tercapai. "Tampaknya kita telah kehilangan kendali atas pencairan lapisan es Antartika Barat selama abad ke-21," salah satu peneliti, Kaitlin Naughten, ilmuwan kelautan dari British Antarctic Survey.

"Hal ini kemungkinan besar berarti kenaikan permukaan laut dalam jumlah besar yang tidak dapat kita hindari," tuturnya.

Ramalan Suram

Temuan Naughten dan rekan-rekannya, yang diterbitkan Senin di jurnal Nature Climate Change, menambah serangkaian ramalan suram mengenai es di sisi barat benua beku tersebut.

Dua gletser dengan pergerakan tercepat di kawasan ini, Thwaites dan Pine Island, telah kehilangan sejumlah besar es ke laut selama beberapa dekade.

Para ilmuwan sedang mencoba untuk menentukan kapan emisi gas rumah kaca akan mendorong lapisan es Antartika Barat melewati "titik kritis" sehingga keruntuhannya akan menjadi cepat dan sulit untuk diperbaiki, sehingga membahayakan garis pantai di seluruh dunia pada abad-abad mendatang.

Meski begitu, pengurangan emisi gas-gas yang memerangkap panas masih dapat menghentikan pelepasan es Antartika dalam jumlah yang lebih besar ke laut.

Lapisan es Antartika Timur mengandung es sekitar 10 kali lebih banyak daripada lapisan es Antartika Barat, dan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa lapisan es tersebut tidak terlalu rentan terhadap pemanasan global, meskipun beberapa penelitian terbaru membantah pandangan tersebut.

"Kita masih bisa menyelamatkan sisa lapisan es Antartika," kata Alberto Naveira Garabato, ahli kelautan di Universitas Southampton yang tidak terlibat dalam penelitian baru ini.

"Jika kita belajar dari kelambanan kita di masa lalu dan mulai mengurangi gas rumah kaca. emisi sekarang," tambahnya.

Naughten dan rekan-rekannya fokus pada interaksi antara lapisan es dan air di Laut Amundsen, yang merupakan bagian dari Samudra Selatan yang berbatasan dengan gletser Thwaites dan Pine Island.

Para peneliti pertama kali menggunakan simulasi komputer untuk memperkirakan perubahan suhu laut dan pencairan lapisan es yang terjadi di sana pada abad ke-20. Mereka kemudian membandingkan hal ini dengan potensi perubahan dalam beberapa arah pemanasan global di abad ke-21, dari yang sangat optimis hingga yang sangat pesimistis.

Mereka menemukan air pada kedalaman 200 hingga 700 meter di bawah permukaan Laut Amundsen dapat memanas lebih dari tiga kali lipat dalam beberapa dekade mendatang dibandingkan dengan abad sebelumnya, terlepas dari apa yang terjadi dengan emisi.

Jika pemanasan global dibatasi hingga 1,5 derajat Celsius dibandingkan dengan kondisi pra-industri, suhu di wilayah Amundsen akan menjadi datar setelah sekitar 2060. Sebaliknya, dalam lintasan emisi yang paling berbahaya, pemanasan laut akan semakin meningkat setelah 2045.

Menurut Naughten, alasan mengapa perbedaannya tidak terlalu besar adalah karena suhu air di bagian Samudra Selatan ini tidak hanya dipengaruhi oleh pemanasan atmosfer yang disebabkan oleh manusia, namun juga oleh siklus iklim alami seperti El Nino. "Kecil jika dibandingkan perbedaan dalam berbagai lintasan emisi," katanya.

Penelitian ini sepertinya bukan merupakan keputusan akhir mengenai masa depan lapisan es Antartika Barat. Para ilmuwan baru mulai mengumpulkan data tentang pencairan es di sana pada 1994, dan karena sulitnya melakukan pengukuran dalam kondisi ekstrem seperti itu, data yang tersedia masih sedikit.

Baca Juga: