JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpotensi melanjutkan pelemahannya, hari ini (1/10). Selain sentimen eksternal, terutama perkembangan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, investor akan menantikan data inflasi nasional pada September lalu.
Seperti diketahui, data manufaktur dan jasa Tiongkok cenderung lebih rendah daripada ekspektasi sehingga mendorong sentimen jual aset berisiko atau risk-off bagi beberapa negara Asia. Di sisi lain, data manufaktur Amerika Serikat (AS) berpotensi melemah akan mendorong pelemahan dollar AS.
Sementara dari dalam negeri, investor menantikan rilis data inflasi nasional pada September 2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Apabila data BPS melampaui ekspektasi pasar yang menperkirakan deflasi, maka hal itu bisa memperlemah rupiah.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memproyeksikan kurs rupiah terhadap dollar AS dalam perdagangan di pasar uang antarbank, Selasa (1/10), bergerak di kisaran 15.075-15.175 rupiah per dollar AS.
Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan, Senin (30/9), ditutup melemah 15 poin atau 0,10 persen dari sehari sebelumnya menjadi 15.140 rupiah per dollar AS. Pelemahan terjadi setelah rilis inflasi Indeks Harga Belanja Personal atau Personal Consumption Expenditure (PCE) Amerika Serikat (AS) yang lebih rendah dari ekspektasi.
"Indeks PCE secara bulanan di bulan Agustus turun ke 0,1 persen 'month on month' (mom) dari 0,2 persen mom, sesuai dengan ekspektasi. Namun, Indeks Harga PCE tahunan menurun ke 2,2 persen year on year (yoy), lebih rendah dari ekspektasi 2,3 persen yoy," kata Josua.
Selain itu, Core PCE Price bulanan turun ke 0,1 persen mom dari 0,2 persen mom, dan tercatat lebih rendah dari ekspektasi 0,2 persen mom.
Menurut Josua, data tersebut menegaskan perkembangan disinflasi di AS, meningkatkan peluang pemangkasan suku bunga acuan yang agresif dari bank sentral AS atau The Fed pada 2024.