Jamie Pavlik, Robin Grier, dan Kevin Grier mengawali makalah mereka berjudul "Two birds with one stone: Reducing corruption raises national income.", di Social Science Quarterly, edisi Maret 2023, dengan dua kutipan. Kutipan pertama, berasal dari Jim Kim (2013), kurang lebih "di negara sedang berkembang, korupsi adalah musuh utama masyarakat.". Kim kemudian menjadi presiden Bank Dunia ke-12 di tahun 2012, setelah diusulkan oleh Barack Obama. Kim juga menyitir Soeharto yang mengatakan "Apa yang Anda sebut korupsi, bagi kami adalah nilai-nilai (ke)-keluarga-(an)."
Menurut Pavlik dkk, melawan korupsi membutuhkan waktu yang tidak sedikit dan harus sinambung tanpa kenal lelah. Namun bila hal ini benar-benar lakukan lebih dari 10 tahun, maka pendapatan per kapita negara tersebut dapat meningkat 20%-25%. Artinya, ada hasil yang sangat besar bila konsisten melawan korupsi. Studi mereka juga menggarisbawahi bahwa ada sejumlah negara yang mencapai lompatan signifikan melawan korupsi di periode awal, namun lompatan tersebut tidak lagi berlanjut setelah melewati masa 5 tahun. Artinya, kencang di awal tapi kemudian melembek dan stagnan kemudian.
Untuk Indonesia, ini tak pelak segera menyasar ke pertanyaan seberapa besar keseriusan negara untuk memberantas korupsi. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, kini telah berusia 20 tahunan. Apakah gerakan reformasi anti korupsi telah memberikan hasil? Sebagai gambaran, merujuk data Bank Dunia, PDB per kapita (harga berlaku) Indonesia tahun 2002 adalah USD 888,9 lalu lima tahun kemudian menjadi USD 1840,3, di tahun 2012 naik ke USD 3.668,2. Dan di tahun 2021 sudah sebesar USD 4.332,7. Jelas besaran kenaikan PDB per kapita ini melampaui rentang prediksi Pavlik dkk. Apakah ini dapat disimpulkan sebagai hasil dari keseriusan dalam memberantas korupsi? Masih kuat keraguan untuk mengiyakan.
Sebagai gambaran, secara umum, pertumbuhan ekonomi nasional selama ini juga disumbang oleh ekspor komoditas. Namun hasil perhitungan tim Perkumpulan PRAKARSA (2019) menyebutkan aliran keuangan gelap (illicit financial flows) komoditas unggulan Indonesia mencapai USD 142,07 miliar selama 1989-2017, yang terdiri dari aliran masuk dengan cara over-invoicing USD 101,49 miliar dan aliran keluar sebesar USD 40,58 miliar dengan cara under-invoicing. Komoditas unggulan tersebut adalah batubara, tembaga, minyak sawit, karet, kopi, dan udang-udangan. Ini menandakan bahwa ekspor komoditas meningkat tapi begitu pula halnya dengan praktik-praktik curang di seputar aktivitas ekspor itu sendiri. Maka tidak aneh bila ada bahwa ada daerah atau provinsi yang ekonominya tetap kuat dan tumbuh, sekalipun korupsinya parah. Keduanya seperti berjalan secara simultan.
Tentu butuh kajian lebih serius untuk memastikan kontribusi kehadiran lembaga pemberantasan korupsi, seperti KPK, untuk pertumbuhan taraf hidup masyarakat. Dalam kategori umur manusia, usia 20-an tahun telah masuk usia dewasa dan harus dapat bertanggungjawab atas dirinya sendiri maupun tugas-tugasnya. Artinya, wajar bila ada pertanyaan apa buah dari gerakan pemberantasan korupsi? Yang belakangan terjadi justru banyak yang menilai bahwa kini terjadi adalah upaya pelemahan lembaga tersebut, bahkan diduga dari dalam komisi sendiri.
Dinyatakan dengan jelas di websitenya bahwa KPK sebagai trigger mechanism, artinya mendorong agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Namun lembaga-lembaga lain tersebut justru berkali-kali juga menunjukkan tabiat yang berlawanan, seperti misalnya dari fenomena rekening buncit sejumlah aparat polisi, termasuk yang terungkap setelah aksi pamer kemewahannya terpantau publik. Begitu pula, ada hakim agung yang malah terjerat dalam perkara suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Sementara ada saja jaksa yang justru diadili karena kasus korupsi, dan pihak Kejaksaan Agung terkesan ingin menerapkan terobosan untuk korupsi "skala kecil" yakni dengan instrumen finansial, demi alasan menekan beban biaya penanganan perkara yang harus ditanggung negara. Beruntung, usulan atau niat semacam ini tidak lantas diamini begitu saja oleh pihak-pihak terkait.
Di era desentralisasi pun korupsi di tingkat kabupaten/kota tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah, menegaskan bahwa masih kuatnya posisi korupsi sebagai grease of the wheel (Arsandi 2022). Praktik-praktik korupsi merupakan cara membuka jalan sektor swasta untuk mempermudah kerumitan birokrasi dan karena itu maka korupsi di sektor publik dan di sektor privat mempunyai korelasi yang signifikan. Tak urung, kedua jenis korupsi ini juga berkorelasi dengan realisasi penerimaan (pajak) dan pengeluaran pemerintah daerah.
Maka tidak aneh ada pendapat bahwa peningkatan jumlah kasus korupsi setelah ada KPK menandakan bahwa penegakan hukum-yang harusnya menjadi instrumen untuk memberantas korupsi-ternyata gagal mencegah bertambahnya korupsi (Alfada 2019). Dari tahun 2004 sampai 2022, rekapitulasi KPK untuk tindak pidana korupsi (TPK) berdasarkan instansi mencapai 1.351 yang didominasi pemkab/pemkot dan kementerian/lembaga. Adapun profesi/jabatan yang mendominasi adalah anggota DPR/DPRD, eselon (I s/d IV), walikota/bupati dan wakilnya, serta swasta. Jenis perkara dengan porsi besar adalah pengadaan barang/jasa/KN dan gratifikasi dan penyuapan.
Soal korupsi sebagai "pelumas mesin" ekonomi agaknya memang masih banyak terjadi, dan cenderung dianggap sebagai kewajaran, terlebih kalau skala atau nilai korupsi tidak begitu besar. Respon salah satu anggota DPR atas korupsi yang dilakukan oleh salah satu pejabat pajak kiranya dapat menjadi contoh. Yakni pernyataan bahwa makan uang haram (hasil korupsi) itu boleh-boleh saja asal tidak besar nilainya. Tentu saja pernyataan seperti ini tampak membenarkan praktik korupsi, padahal korupsi entah kecil ataupun besar pada dasarnya adalah salah dan melawan hukum.
Terlebih lagi, dari kasus terbaru korupsi kelas kakap di satu BUMN, penjarahan uang negara betul-betul diinisiasi dan dilaksanakan dari dalam dengan modus menyetujui pencairan dana dengan memakai dokumen pendukung yang palsu dan hasil pencairan dana seakan-akan dibayarkan kepada vendor yang sebetulnya juga tidak ada. Penjarahan demikian tentu saja bukan lagi korupsi sebagai "pelumas mesin", tapi korupsi seperti telah dijadikan mesin bagi praktik-praktik megakorupsi.
Maka, bila memang hendak memungkas-mengakhiri korupsi dengan harapan kesejahteraan masyarakat membaik secara signifikan, seperti temuan studi di atas, mau tidak mau harus terus dinyatakan bahwa korupsi, entah besar atau kecil, jelas merugikan pembangunan. Harus dicegah upaya-upaya yang sengaja mengabaikan fakta bahwa korupsi adalah merusak kemampuan masyarakat untuk menangguk masa depan yang lebih sejahtera. Tentu saja, sudah seharusnya penegakan hukum menampakkan superioritasnya untuk memungkas bertambahnya korupsi.***
Oleh: Aloysius Gunadi Brata Dosen Prodi EP, Universitas Atma Jaya Yogyakarta; aktif di MINDSET Institute.