Oleh Indra Charismiadji

Tema Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2019 adalah Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan. Menguatkan berarti memajukan pendidikan. Maka, mencerdaskan bangsa mesti menjadi prioritas pemerintah. Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp367,02 triliun dan terus meningkat hingga 492,5 triliun rupiah pada 2019.

Walaupun demikian, peningkatan anggaran tidak berarti mutu naik. Itu tertuang dalam laporan Bank Dunia sejak tahun 2013, "Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia."

Secara global, pendidikan Indonesia menempati posisi buncit. Dalam peringkat Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Pelajar Internasional Indonesia berada di urutan 62 dari 70 negara. PISA mengukur kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa berusia 15.

Begitu juga untuk peringkat penilaian matematika dan sains internasional atau Trends in International Mathematics and Science Study (TIMS) di urutan 40 dari 42 negara. UNESCO menyebutkan, hanya satu dari 1.000 orang Indonesia berminat baca serius. Maka secara literasi di nomor 60 dari 61 negara dalam World Literacy buatan Central Connecticut State University.

Peringkat universitas juga tidak lebih baik dari pendidikan dasar. Data QS World University Ranking menempatkan perguruan tinggi (PT) Tanah Air di urutan 39 dari 50 negara dan Universitas di peringkat 50 dari 50 negara.

Penulis Amerika, Elizabeth Pisani, menulis artikel keras. Di antaranya, Anak Indonesia Tidak Tahu Betapa Bodohnya Mereka, Ternyata 42 persen Anak Indonesia Tidak Ada Gunanya, dan Indonesia Negara Kumpulan Anak Dungu. Kajian Centre for Education Economics Inggris menaikkan tingkat emosi orang Indonesia. Anak Indonesia siap menghadapi abad 21 di abad 31 karena adanya complacency. Artinya, menganggap semua baik-baik saja alias kepuasan diri tinggi dengan kondisi yang ada.

Web Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) - Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud dari hasil Indonesian National Assessment Programme (INAP) menyebutkan, hanya sedikit anak menguasai mata pelajaran secara baik. M matematika 2,29 persen, membaca 6,06 persen, dan sains 1,01 persen.

Sementara itu, penguasaan kurang: matematika 77,13 persen, membaca 44,83 dan sains 73,61 persen. Sisanya, berada dalam level cukup. Capaian tersebut sungguh ironis, bila dlihat triliunan uang rakyat yang telah digelontorkan sejak UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Rerata nilai Ujian Nasional (UN) SMP terus turun dari 61,81 tahun 2014/2015 menjadi 50,80 di 2017/2018. Demikian juga SMA/MA dari 58,27 pada 2014/2015 turun menjadi 50,80 pada tahun 2017/2018.

Mutu pendidikan rendah berdampak pada karakter siswa. Misalnya, siswa menantang dan mencekik guru. Ada juga murid memukul guru hingga meninggal. Semua ini merupakan hasil sistem pendidikan nasional. Ini tidak hanya murid, tetapi juga guru, tata kelola, kurikulum, sarana, dan prasarana.

Warga juga lalu mudah percaya berita bohong, tanpa menganalisis lebih lanjut. Para siswa menjadi intoleran. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan, 43,88 persen mahasiswa dan pelajar intoleran. Padahal, menurut seorang wanita tuna netra pertama yang memiliki gelar sarjana, Helen Keller, pencapaian tertinggi dari pendidikan adalah sikap toleran. Tak heran banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu bernama sekolah internasional atau sekolah nasional plus mendatangkan guru dari luar.

Perbaiki

Untuk membenahi mutu pendidikan perlu dilakukan antara lain evaluasi terhadap anggaran yang sejak 2014 hingga 2019 sudah mencapai Rp2.094 triliun. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kerap kali mengatakan, penggunaan anggaran pendidikan belum optimal. Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49, mereka wajib mengalokasikan minimal 20 persen dari APBD, di luar gaji pendidik.

Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan Bidikmisi untuk perguruan tinggi, persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen empat tahun terakhir. Sebab sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas. Kemudian, pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah di atas jumlah usia sekolah.

KIP yang diluncurkan 2014 tidak terbukti meningkatkan APM. Kenaikan SD hanya 0,77 persen sejak 2014. Selanjutnya, SMP 0,87 persen, dan SMA sederajat 0,92 persen. KIP memang meningkatkan jumlah siswa bersekolah, tapi di bawah satu persen. Tidak signifikan dibanding anggaran.

Rasio guru dan murid lebih unggul dari negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14. Artinya, satu guru mengajar 14 siswa. Selanjutnya SMP dan SMA 1:15 dan untuk SMK 1:6. Rasio ini hanya kalah dari Jepang. Kita di atas Singapura dan AS.

Kompetensi guru juga harus diperhatikan lebih. Hasil uji kompetensi guru (UKG) di 10 provinsi memiliki nilai di atas rata-rata 56,69. Bagaimana mungkin anak-anak diajar guru-guru yang kompetensinya di bawah rata-rata. Apalagi 14 persen guru bolos mengajar.

Perlu evaluasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dari serapan dunia pendidikan. Misalnya, dari 300.000 lulusan LPTK setiap tahun, yang diserap kurang dari separuh, sekitar 120.000. Ini menunjukkan, kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan.

Ada 75 persen sekolah tidak memenuhi standar layanan minimal. Bagaimana berbicara menghadapi Revolusi Industri 4.0, jika UNBK saja belum bisa 100 persen. Server selalu bermasalah. Akses listrik dan internet belum merata.

Tupoksi antarlembaga pelasana pendidikan nasional belum jelas. Misalnya, untuk sentralisasi atau otonomi daerah. Misalnya, kalau otonomi, madrasah masih di bawah pusat. Sementara itu andai sentralisasi, Kemendikbud tidak punya otoritas mengatur guru.

Untuk meningkatkan mutu perlu menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas. Contoh, penyerapan anggaran bukan semata menjadi target. Mutu yang harus menjadi target. Program KIP atau BOS, anggaran terserap, tapi tidak ada evaluasi. Pelayanan pendidikan harus dilakukan secara profesional, sehingga tidak ada lagi alasan server down untuk dapodik, unbk, maupun snmptn.

Intinya perlu pembaruan sistem pendidikan nasional karena UU No 20 tahun 2003 sudah tidak up to date dan secara nyata belum mampu mencerdaskan bangsa. UU ini dibuat prakonsep Revolusi Industri 4.0. Sistem pendidikan harus dibuat cetak biru yang tidak akan terpengaruh kepentingan politik pusat maupun daerah.

Bangsa menaruh harapan besar pada presiden terpilih Pemilu 2019 agar benar-benar peduli pengembangan sumber daya manusia. Semoga janji kampanye terpenuhi. Pendidikan menjadi prioritas. Kabinet yang akan dibentuk dapat mewujudkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Penulis Lulusan Dana University, Ottawa Lake, Michigan, AS

Baca Juga: