Dinamika universitas selalu mengundang perhatian tersendiri di ranah publik. Pasalnya, setiap perubahan yang terjadi di dunia perguruan tinggi, setidaknya akan berpengaruh secara kelembagaan dan instansi terkait.

Diakui atau tidak pemilihan rektor perguruan tinggi di Tanah Air, nyaris sarat nuansa primordialisme. Gesekan antar-sivitas akademika, tidak jarang ikut mewarnai proses pemilihan, bahkan ada yang berujung di pengadilan, lantaran saling gugat.

Apapun alasannya, kampus merupakan lembaga ilmiah. Pemilihan pemimpin perguruan tinggi (rektor), mestinya bermanifestasi pada pertarungan gagasan, pemikiran, dan program yang akan dilakukan bila terpilih menjadi rektor. Namun, dalam dinamika perkembangan belakangan, ada kecenderungan membawa kampus ke institusi yang lebih bersifat politis dan tidak ilmiah.

Terkait persoalan tersebut, muncul wacana pemilihan rektor (pilrek) di perguruan tinggi negeri (PTN) bakal dilakukan presiden. Gagasan pilrek oleh presiden secara yuridis tidak bertentangan dengan undang-undang (UU). Pasalnya, dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemerintah, yang diwakili Kemristekdikti memiliki 35 persen suara dalam pemilihan rektor di PTN. Namun, ada dua sisi yang cukup dilematis.

Di satu sisi, bila rektor dipilih presiden, baik tidaknya amat bergantung pada sosok presiden. Di sisi lain, bila pilrek dilepas, konstelasi kampus amat bergantung pada dominasi organisasi mahasiswa di sana. Intervensi presiden dalam pilrek dapat memotong siklus yang tidak sehat dan mendorong ke kondisi yang lebih objektif rasional, berdasarkan kompetensi.

Sebagai contoh kasus, apa yang terjadi terkait dengan pilrek Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Indra Prawira, pakar hukum Unpad, mengingatkan Menristekdikti Mohamad Nasir, agar tidak terlalu jauh menggunakan kewenangannya dalam proses pilrek Unpad. Indra berharap agar Menristekdikti cukup menggunakan haknya sebesar 35 persen suara dalam pilrek.

"Menteri itu anggota majelis wali amanat (MWA) dan bobot suaranya 35 persen. Cukup signifikan menentukan siapa yang akan terpilih," kata Indra, Selasa (26/3).

Menurutnya, bila Nasir tetap ngotot memecat calon Rektor (calrek) Unpad Profesor Obsatar Sinaga atau sampai melakukan pilrek dari awal lagi, sangat rawan digugat. Tiga calon yang lolos dan tinggal dipilih, bakal ramai-ramai menggugat.

"Kalau dibatalkan, Menteri Nasir siap-siap saja digugat oleh calon-calon rektor," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi telah mengeluarkan tanggapan terkait surat Mohamad Nasir yang tetap ingin memecat Obsatar. Dalam tanggapannya, Sofian tetap dengan pendirian semula bahwa pemecatan calrek Unpad itu tidak sah.

"Sebagai komisioner KPI, Obsatar telah menyatakan mengundurkan diri, maka yang bersangkutan berhenti dari jabatannya tanpa harus menunggu Keputusan Presiden," kata Sofian.

Sebagaimana diketahui, Obsatar dipecat Rektor Unpad Profesor Tri Hanggono Achmad, yang notabene mencalonkan kembali sebagai rektor, padahal Tri Hanggono dipastikan cuti.

"Lazimnya aparatur sipil negara yang sedang menjalankan cuti tidak bisa melakukan pekerjaan atau mengambil keputusan terkait tugas-tugas kedinasan," kata Sofian Effendi.

Sementara tiga calrek Unpad yang telah dipilih MWA masing-masing Aldrin Herwany, , (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), Profesor Atip Latipulhayat (Fakultas Hukum), dan Profesor Obsatar Sinaga (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Sedangkan rektor petahana terpental dari pencalonan. Ditengarai, rektor petahana yang tengah cuti memecat Obsatar dengan tujuannya agar pilrek kembali dari awal. tgh/R-1

Sarat Kepentingan

Sekretaris Eksekutif MWA, Erri N Megantara mengatakan, terkait calrek Unpad, jumlahnya tetap tiga kandidat, yakni Aldrin Herwany, Atip Latipulhayat, dan Obsatar Sinaga. Menurutnya, tiga calon rektor tersebut juga sesuai hasil rapat pleno sebelumnya. "Calon sementara 3 kandidat, itu tak ada perubahan," katanya.

Salah satu amanat dari rapat pleno ialah menjaring masukan dari masyarakat, termasuk Ombudsman terkait rekam jejak ketiga calrek yang akan menjadi pertimbangan di pemilihan rektor. "Menjaring informasi dari masyarakat sudah dilakukan termasuk dari Ombudsman," katanya.

Ia berharap pilrek Unpad ini berlangsung kondusif. Kepada masyarakat khususnya civitas akademika Unpad, ia mengimbau agar tidak terpancing isu-isu yang tidak jelas mengenai pilrek.

"Jangan interpretasi sendiri-sendiri. Kalau kurang jelas, silakan datang ke MWA karena kita ada ada kantor sekretariat, jadi kalau ada apa-apa akan dapat informasi resmi dari sana," ungkapnya.

Pilrek Unpad sendiri terkatung-katung sejak akhir tahun lalu. Awalnya penetapan Rektor Unpad terpilih akan dilakukan pada 27 Oktober 2018. Namun hingga kini, pilrek masih dalam proses.

Keruwetan ini juga ditambah dengan sikap Menristekdikti yang dinilai selalu mencari alasan yang tidak masuk akal, padahal permasalahan Obsatar sudah mendapat jawaban dari Ketua KASN, namun sepertinya tidak digubris Menristekdikti.

"Menristekdikti sepertinya sengaja mengulur waktu karena ada kepentingan tertentu dan mempunyai calon lain diluar ketiga calon terpilih saat ini. Ada kesan Menristekdikti menginginkan calon diluar ketiga tersebut. Bisa jadi ada kepentingan tertentu dan terselubung," tuturnya.

Pihak Menristekdikti, lanjut Erri, mestinya berkaca dari kasus Rektor UIN Antasari, Makassar, yang terindikasi korupsi. "Kondisi seperti ini akan membentuk persepsi negatif pemerintah, dalam hal ini Kemenristekdikti, bagi masyarakat Jabar khususnya dan Indonesia umumnya yang akan melaksanakan Pilpres sebentar lagi terhadap kasus penguluran waktu pilrek Unpad, seolah olah ada sesuatu yang tersembunyi di balik pilrek Unpad," pungkasnya. tgh/R-1

Baca Juga: