Siapa sangka uang recehan bisa membantu biaya pendidikan hingga SMA/sederajat. Itulah yang dilakukan Coin A Chance.

Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Barangkali itu merupakan peribahasa yang tepat untuk kegiatan yang dilakukan Coin A Chance (CAC).

Komunitas ini menggalang dana dengan mengumpulkan uang receh atau koin. Komunitas Coin A Chance juga sangat peduli pendidikan. mereka mengumpulkan recehan koin demi satu koin uang rupiah untuk membantu membiayai pendidikan siswa kurang mampu.

Ya, uang koin yang kerap dipandang sebelah mata ini, juga bisa menjadi sangat besar nilainya sabar mengumpulkannya. CAC dapat mengumpulkan dalam jumlah hingga 4 juta dalam setiap penghitungan koin atau Coin Collecting Day. Jumlah yang tergolong fantantis mengingat nilai terbesar koin hanya sebesar 1000 rupiah.

"Uang koin kerap kali dianggap remeh," ujar Anggia Bahana Puteri, Manager Operasional Coin A Chance. Kebanyakan uang tersebut digunakan untuk membayar parkir maupun pak ogah di jalan raya. "Atau bahkan koin tidak digunakan sama sekali hanya didiamkan hingga berdebu," ujar dia.

Padahal, dari benda yang remeh jika dikumpulkan akan menjadi sesuatu yang besar. Seperti uang receh yang dikumpulkan para coiners, sebutan para penyumbang koin. Sampai saat ini, sasaran penerima bantuan adalah siswa dari keluarga kurang mampu yang memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah. CAC berfokus pada bidang pendidikan dengan alasan setiap anak berhak mendapatkan pendidikan. Sehingga dari koin yang nilainya kecil, mereka berupaya membantu siswa mampu untuk mendapatkan pendidikan.

"Komimen utama kami adalah memastikan setiap adik didik yang dibantu harus selesai hingga tamat SMA atau setara," ujar dia. Mengingat uang koin yang terkumpul dalam jumlah terbatas. CAC mengutamakan anak-anak yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Seperti siswa kelas 6 SD yang akan melanjutkan ke kelas 1 SMP atau kelas 3 SMP ke kelas 1 SMA.

Dalam kegiatan ini bukan berarti CAC tidak pernah memutuskan bantuan. "Pernah," ujar Anggia singkat. Hal tersebut terjadi karena, siswa maupun siswi tersebut tidak memenuhi aturan sekolah, seperti tidak pernah masuk sekolah dan karena masalah pribadi (hamil). CAC telah bergerak ke berbagai kota di Indonesia, beberapa diantaranya selain Jakarta seperti Medan, Cilegon, Sumatera Selatan, Semarang, Yogyakarta, Makassar, Palu, Banjarmasin, dan Surabaya.

Bahkan, kegiatan tersebut telah meluas ke sejumlah negara. Sampai saat ini, jumlah siswa yang diberikan bantuan sebanyak 85 anak, dimana 30 diantaranya berada di Jakarta.

Selain itu, CAC memberikan pembekalan materi yang tidak diperoleh di sekolah seperti pentingnya personal hygiene, pengenalan media sosial dan penggunaannya yang bijak, confidence building dan sebagainya.

CAC berdiri pada Desember 2008, sebuah gerakan sosial yang berawal dari Jakarta. CAC mengajak keluarga, kerabat, teman maupun netter untuk mengumpulkan uang logam yang bertumpuk dan jarang digunakan. Uang tersebut digunakan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak kurang mampu agar dapat melanjutkan pendidikan. Gerakan didirikan oleh Hanny Kusumawati dan Nia Kurniasih.

Pada awal berdirinya dua orang founder berhasil menggalang dana sebesar 600 ribu rupiah untuk membantu biaya tunggakan uang sekolah selama satu tahun adik didik CAC. Dari kegiatan pertama, kegiatan sosial berlanjut hingga kini tanpa ada tuntutan keanggotaan. Dengan kata lain, setiap orang dapat berpartisipasi menyumbangkan uang receh. din/E-6

Maksimal Memanfaatkan Uang Logam

Para coiners percaya bahwa uang logam yang terkumpul mampu menuntaskan pendidikan anak-anak kurang mampu. Alhasil, mereka berlomba-lomba mengumpulkan uang logam. "Karena uang recehan mampu membantu pendidikan anak kurang mampu," ujar Andrian, Staf Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta, Rabu (30/5). Laki-laki yang biasa disapa Ade ini memulai pengumpulan uang logam sejak 2012. Ia menggalang pengumpulan uang logam teman-teman sejawatnya. Pada awalnya, koin yang terkumpul senilai 200 ribuan rupiah.

Makin lama, nilai uang logam yang terkumpul bisa mencapai satu juta rupiah. Bahkan sampai saat ini, nilainya berada pada kisaran 1 hingga 1,6 juta rupiah per tiga bulan. Meski nilai uang logam yang terkumpul makin banyak namun jumlah coiners- nya tidak sebanyak pada awal pengumpulan.

Hal tersebut terkait dengan kepercayaan penyaluran uang tersebut. "Kalau, saya percaya," ujar dia. Hal serupa dialami Faizin, 32, Pegawai Negeri Sipil, dia tidak memiliki keraguan terhadap uang logam yang telah disalurkan. "Karena pengurus pusat selalu menyampaikan laporan, baik melalui website maupun twitter," ujar dia yang telah menyalurkan uang logam sejak 2011. Bahkan sejumlah anak asuh kerap terlibat dalam penghitungan uang logam yang disalurkan para coiner.

Beberapa kali, Faizin ikut terlibat dalam penghitungan uang logam. "Awal-awal pusing, tapi lama kelamaan asyik dan seru," ujar dia tentang pengalaman menghitung uang logam. Uang yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai nilainya lalu ditumpuk sebanyak 10 koin.

Lalu, uang dimasukkan ke kantong setiap lima tumpuk. Sepertihalnya Ade, Faizin mengajak teman-teman di lingkungan tempat kerjanya untuk mengumpulkan uang logam guna membantu pendidikan anak kurang mampu. Sampai saat ini, ada sekitar lima orang yang pernah menyetorkan uang.

Nilai uang yang terkumpul mulai dari pecahan 50 rupiah hingga 1000 rupiah. Bahkan, ada beberapa coiner yang mengumpulkan mata uang asing.

Faizin tidak menukar uang tersebut ke mata uang rupiah namun langsung menyerahkan uang ke pengurus pusat. Penyaluran uang logam ke siswa didik kurang mampu telah mengubah pandangan tentang uang logam. Jika semula uang logam sekadar uang receh yang nilainya kecil, saat ini uang logam tak ubahnya uang kertas yang memiliki nilai yang lebih tinggi.

"Jadi lebih menghargai koin seberapapun nilainya karena ketika koin dikumpulkan nilainya menjadi lebih banyak," ujar dia. din/E-6

Menghitung Logam sebagai Sarana Terapi

Ratusan uang receh terhampar di atas meja, mulai dari 50 rupiah hingga 1000 rupiah. Uang dihitung lalu diserahkan ke sekolah-sekolah siswa sasaran untuk biaya pendidikan. Itulah Coin Collecting Day. Kegiatan penghitungan koin yang telah terkumpul di sekretariat maupun koin yang dikumpulkan pada hari itu. Menghitung koin yang jumlahnya ratusan bahkan kadang ribuan membutuhkan ketelitian supaya tidak salah hitung.

Namun, kegiatan yang dilakukan beramai-ramai tersebut justru kerap dirindukan. "Biasanya para coiners malah menganggap penghitungan koin sebagai terapi atau quality time," ujar Anggia Bahana Putri, Manager Operational Coin A Chance. Karena mereka dapat berinteraksi bahkan berjejaring dengan sesama coiners atau sebutan pengumpul uang koin. Bahkan, siswa-siswi asuh sering terlibat dalam penghitungan koin.

Penghitungan koin kerap dilakukan di restaurant maupun foodcourt (khususnya di Jakarta). Karena setelah penghitungan, gerai-gerai makanan akan menghampiri untuk menukarkan uang yang akan digunakan sebagai uang kembali. Sebagian uang koin pun bertukar dengan uang kertas.

Hanya penyaluran tidak berupa uang kertas. Jika, bantuan diberikan untuk pertama kalinya maka bantuan diwujud koin sebagai simbolisasi. Sisanya, bantuan disalurkan ke sekolah masing-masing. CAC tidak memberikan bantuan ke siswa atau orang tua sisa untuk menghindari penyalahgunaan bantuan. Tidak ada waktu tertentu pelaksanaan Coin Collecting Day. Karena kegiatan dilakukan berdasarkan bantuan yang terkumpul.

CAC hanya membatasi waktu penghitungan koin selama dua sampai empat jam. Sampai saat ini, jumlah uang yang diperoleh dalam setiap kali penghitungan (di Jakarta) mencapai dua sampai empat juta rupiah. Jumlah bantuan yang diperoleh lebh besar dibandingkan kota-kota lain.

"Hal ini, karena jumlah coiners (di Jakarta) lebih banyak ketimbang di kota-kota lainnya," ujar dia. Uang koin kerap dianggap "tidak laku" dalam sejumlah transaksi.

Sejumlah pedagang bahkan menolak dengan pembayaran sejumlah uang 100 rupiah. Anggia tidak ingin berpikir terlalu jauh mengenai hal ini. "Apapun keputusan dan sikap yang diambil pemerintah terkait uang koin, kami percaya hal tersebut tentu dilakukan dengan pertimbangan terbaik," ujar dia.

Karena dia dan komunitasnya lebih fokus pada bantuan untuk siswa kurang mampu. Supaya, mereka dapat menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA atau sederajat. din/E-6

Baca Juga: