OLEH MASRI HANUS, MA

Riset Universitas Indonesia (UI), sekitar 6,4 juta penduduk menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Jika tiap orang mengonsumsi satu gram sabu per pekan, perlu 300 ton sabu per tahun. Penduduk besar menjadi lahan menggiurkan bisnis narkoba. Juli lalu, polisi menangkap jaringan narkoba asal Taiwan yang membawa 1,3 ton sabu melalui pesisir pantai Banten. National Narcotics Control Commision of China menginformasikan, ternyata sudah 250 ton sabu asal Tiongkok masuk Indonesia.

Narkoba jenis pil ekstasi adalah salah satu narkoba yang banyak peminatnya. Ini tergolong narkoba laris. Terbukti, sekitar satu pekan Polda Metro Jaya kembali menggerebek jaringan narkoba internasional dan menemukan timbunan 1,2 juta pil ekstasi siap diedarkan. Menurut BNN, sekitar 72 jaringan narkoba internasional beroperasi di sini. Total pengeluaran uang untuk bisnis narkoba hingga 2017 mencapai 72 triliun. Jumlah ini hampir menyamai besaran APBN Provinsi DKI tahun 2017.

Wilayah Indonesia amat luas, sehingga memudahkan jaringan narkoba internasional masuk. Narkoba asal luar negeri bisa diselundupkan melalui pantai terpencil atau melalui daratan (jalan tikus) tertentu melintasi batas negara. Jaringan narkoba internasional bekerja sama penduduk lokal. Narkoba sudah masuk ke anak TK dan SD. Mereka juga menyusup jauh hingga perdesaan.

Sungguh memprihatinkan karena hingga saat ini sudah masuk 44 jenis narkoba. Ini mengharuskan keluarga, masyarakat, dan negara meningkatkan kewaspadaan terhadap narkoba. Diyakini tiap hari bertambah korban baru sebagai pengguna narkoba. Pemerintah sudah beberapa tahun ini merilis informasi ke publik. Setiap hari, 50 orang meninggal terkait penyalahgunaan narkoba. Sayang, pemerintah terkesan sedikit lamban dalam peraturan legalistik.

Pemerintah kalah cepat dari pergerakan jaringan narkoba internasional dan domestik. Menteri Kesehatan hingga kini baru mengatur 18 jenis narkoba, tertinggal perkembangan narkoba. Maka, sulit secara legalistik bagi pemerintah bertindak tegas terutama "menghakimi" pengguna narkoba baru yang belum masuk dalam peraturan Kemenkes.

Dengan 18 jenis narkoba saja, perkara terkait jaringan bisnis dan penyalahgunaan narkoba terus bertambah tiap saat. Kini mencapai 1.015 kasus yang melibatkan 72 jaringan/sindikat, dengan tersangka 1.681 orang. Bertambahnya napi narkoba menimbulkan efek berantai negatif seperti pembobolan lapas.

Analisis terhadap penggelembungan luar biasa dalam permasalahan narkoba, keterlibatan jaringan internasional, transaksi uang mencapai triliunan rupiah tiap tahun, puluhan ribu orang meninggal, empat hingga enam juta pengguna/pecandu. Ini juga kerugian material dan imaterial keluarga, masyarakat dan negara. Maka kebijakan Presiden Joko Widodo terhadap permasalahan narkoba on the track.

Darurat

Pemerintah sudah menetapkan Indonesia dalam status darurat narkoba. Dalam era Jokowi tindakan tegas diambil. Setidaknya 18 napi dengan status hukuman mati telah dieksekusi regu tembak di Nusa Kambangan. Belasan terpidana mati lain dengan kasus narkoba, segera menyusul. Artinya jelas, Jokowi mendukung penuh perang atas peredaran narkoba, dan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.

Jokowi perintahkan aparat kepolisian menembak mati pengedar serta bandar narkoba yang melawan penegak hukum. Kata Presiden, "Sedikit melawan, sudah ditembak saja." Bagi Presiden, kata-kata tidak diperlukan lagi untuk menangani para sindikat peredaran narkoba. Presiden memerintahkan polisi kejar, tangkap, hantam, dan kalau Undang-Undang membolehkan, tembak saja.

Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mendeklarasi perang terhadap narkoba. Tidah kurang dari 1.900 pengedar dan bandar narkoba yang tertangkap tangan langsung di tembak mati. Jaringan narkoba internasional merinding atas tindakan Duterte tersebut.

Menurut BNN, pelarian dari Filipina justru berpindah ke Indonesia sebagai wilayah operasi baru. Secara ekonomis amat menggiurkan. Indonesia lahan empuk jejaring internasional. Mereka masuk melalui laut menuju ke pesisir pantai yang sepi untuk menurunkan sabu, heroin, atau ekstasi. Masih cukup banyak pelabuhan tidak resmi dan pulau kecil, tanpa pengawasan polisi/TNI.

Sementara pelabuhan dengan penjagaan ketat oleh aparat, agen jaringan internasional pun bisa tembus, tapi akhirnya tertangkap. Para pengedar masuk, menggunakan modus baru. Pengedar dan agen internasional saat ini jauh lebih canggih ketimbang petugas serta peralatan pembantu petugas seperti mesin sinar X. Pengedar pernah membawa narkoba jenis sabu melalui laut, di mana sabu dimasukkan dalam rongga tiang pancang besi ukuran 6 cm dengan berat 200 kilogram yang digunakan sebagai pipa pompa hidraulis. Metode baru ini sulit terdeteksi sinar X. Hanya anjing pelacak mampu mengendus isi pipa.

Justru itu untuk keperluan mendeteksi narkoba pemerintah tertantang. Mau tidak mau harus menyediakan anggaran pembiayaan tidak kecil untuk membeli peralatan tercanggih, anjing pelacak, serta diklat petugas. BNN khususnya perlu mempunyai petugas ahli seperti membaca gestur orang yang dicurigai, sosialisasi bahaya narkoba. Harga anjing pelacak narkoba asal Jerman dan Belanda mencapai 125 juta per ekor. BNN memerlukan 2.000 anjing pelacak untuk mendistribusikan BNN kabupaten/kota sebanyak tiga ekor.

Urusan pembiayaan bisa nomor dua. Negara mengutamakan perlindungan, penyelamatan, pembentukan SDM berkualitas untuk mengisi kemerdekaan agar menjadi agen pembangunan yang kreatif, produktif, berkarakter, integritas tinggi siap membangun. Negara wajib memiliki SDM dengan kondisi kesehatan prima, sistem syaraf, jantung, paru semuanya sehat.

Negara wajib melindungi SDM dari infeksi HIV/AIDS, hepatitis, malaria yang salah satu sumber penularannya berasal dari pengguna narkoba jarum suntik. Negara wajib membentuk SDM yang memiliki psikis mental sehat, rajin, ulet, karena selama hidupnya terbebas narkoba, bukan penyahguna narkoba.

Penulis Adalah Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial

Baca Juga: