Berbicara tentang film, berarti kita berhadapan dengan segala hal yang multidimesional. Apalagi film-film Indonesia. Sejarah membuktikan, film-film Indonesia mengalami pasang surut yang demikian dahsyat, bahkan hingga titik nadir, yakni vakumnya produksi film Indonesia, pada era 80-90 an.

Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa pengembalian Piala Citra oleh sekelompok sineas muda secara spontan yang tergabung dalam Komunitas Masyarakat Perfilman Indonesia (KMPI). Peristiwa langka tersebut boleh dibilang merupakan prestasi tersendiri. Prestasi ini tidak hanya tamparan bagi eksistensi FFI (Festival Film Indonesia) melainkan juga para dewan juri yang memutuskan film Ekskul keluar sebagai Film Terbaik FFI 2006.

Agaknya komunitas sineas muda ini mencoba membuat hattrick dalam era reformasi. Berawal ketika Mira Lesmana bersama Riri Reza menggarap film Kuldesak, yang boleh dibilang cikal bakal bangkitnya perfilman Indonesia.

"Bisa jadi peristiwa tersebut menjadi titik balik para sineas muda, yang belakangan mampu melahirkan karya film yang patut diacungi jempol," ujar Eros Djarot, sutradara film Tjut Nya' Dien.

Era 2016 menjadi tonggak penting jajaran sineas muda dengan segala ide yang ditawarkan. Eksplorasi ide dan teknik perfilman mewarnai puncak kejayaan film Indonesia dalam hal perolehan jumlah penonton. Secara umum perolehan penonton mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah hingga menyentuh angka 30 jutaan penonton. "Angka bombastis ini seperlimanya dipetik dari keberhasilan film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1," ungkap Anggy Umbara, sutradara film Warkop DKI Reborn. Selebihnya, setidaknya ada 10 film Indonesia yang mampu memperoleh jumlah penonton di atas 1 juta, sebagian besar didominasi film komedi.

"Keberhasilan itu tidak berhenti sampai disitu saja. Sejumlah film Indonesia yang dilirik di ranah internasional, baik film maupun aktornya, patut pula diapresiasi. Sebut saja Surat dari Praha, Istirahatlah Kata-Kata, Headshot, hingga film pendek dari sineas muda Wregas Batuneja, Prenjak," ungkap Eros.

Terjerembab pada Dunia Utopis

Sukses film-film sepanjang 2016 hingga September 2017, merupakan keberhasilan sineas muda mewujudkan mimpi publik, tentu dengan beragam tema. Cek Toko Sebelah, misalnya, menjadi contoh baik yang menggambarkan penerimaan penonton untuk suguhan komedi beragam. "Selera komedi yang berbeda coba disuguhkan dalam film ini, sehingga semua kalangan diajak masuk dalam keberagaman dengan banyak pintu. Cara yang baik untuk mengenalkan penonton agar toleransi tidak menjadi hal yang utopis," kata Ernest Prakasa, pemain sekaligus sutradara Cek Toko Sebelah.

Di sisi lain, beragam pesan positif yang ingin digambarkan nyaris di semua film sukses tahun ini, justru membuat penonton lupa pada realitas. Penonton terjerembab pada dunia utopis yang dianggap nyata, atau setidaknya diharapkan nyata. Banyaknya film yang mengusung latar luar negeri memberikan mimpi tersendiri untuk penonton.

Mimpi sebagai komoditi untuk menarik penonton nyata secara eksplisit diperlihatkan Laskar Pelangi, terutama imaji tentang 'luar negeri'. Konsepsi ini diperlihatkan lebih nyata melalui gambaran latar luar negeri di film-film pasca Laskar Pelangi. Berawal dari kelanjutan Negeri Van Oranje yang rilis di akhir 2015, penggambaran shot latar tempat di Belanda sangat baik ditampilkan untuk keperluan gambar film, namun beratnya hidup di luar negeri tidak tampak, sehingga latar tempat hanya berfungsi untuk menampilkan momen yang indah untuk membangun rasa.

"Risikonya, penonton akan mengimajinasikan konsep tentang 'luar negeri' menjadi sebuah mimpi yang sangat indah. Hal ini diperkuat melalui film-film berlatar luar negeri lain, seperti London Love Story, Surat dari Praha, Ada Apa dengan Cinta 2, dan Rudy Habibie. Penonton banyak diberikan suguhan gambar dengan kecantikan latar dari kota-kota di luar Indonesia," ungkap Arswendo Atmowiloto, budayawan.

Namun, lanjutnya, kehadiran film-film ini dapat mengawali mimpi baru perfilman Indonesia, yang ke depannya diharapkan semakin banyak genre film yang ditawarkan. pur/R-1

Selera Penonton yang Masih Terbagi

Kesuksesan film Indonesia adalah kebanggaan Indonesia. Hukum pasar penonton lebih diutamakan untuk keberlangsungan karya berikutnya. Kesuksesan ini memberikan mimpi segar untuk sineas-sineas lain agar menduplikasi kesuksesan dahulu sebagai pengakuan. Jutaan mimpi lahir untuk membuat film dengan formula yang sama dengan film-film sukses. Untuk itu, genre komedi, biopik tokoh besar, dan drama percintaan menjadi frame mimpi indah setiap sineas. Penonton pun menerima mimpi dengan formula serupa sepanjang tahun. Ide memang tak pernah habis, tapi apakah memang tidak ada tempat kesuksesan untuk ide lain? Atau, karena penonton terbiasa dengan suguhan serupa, suguhan yang beragam menjadi sulit diterima.

Keseragaman yang diulang dalam jumlah masif menyempitkan penerimaan pada keberagaman film. Penonton Indonesia menjadi tersegmentasi dan selektif terlalu dini. Sebagian karena menolak perbedaan formula film yang berbeda, sebagian lagi justru karena ingin membedakan diri agar dinilai penonton yang berbeda.

Suguhan Istirahatlah Kata-Kata memperlihatkan selera penonton Indonesia yang terbagi-bagi. Untuk yang terbiasa dengan film sukses sesuai formula akan menilai film ini sebagai film yang berat dan tidak dapat dinikmati. Tidak ada yang salah memang, tapi cukup miris ketika ide film yang berbeda dapat diterima di ranah internasional, tapi tidak memiliki tempat di hati penonton yang monoton.

Penonton memang tidak dipersiapkan untuk menerima keberagaman karena keseragaman formula film sukses perlu dipertahankan untuk membangun industri. Keberagaman untuk masa ini hanya dapat dipertahankan sebagai tema yang diusung dalam cerita, seperti Cek Toko Sebelah.

Suatu saat penerimaan keberagaman tidak lagi menjadi materi yang utopis. Penonton siap menerima dan menikmati film apapun atas dasar cinta karya bangsa. Penonton Indonesia harus segera bangun dari mimpi indah dan bangga pada film Indonesia yang beragam, sebelum terlelap lebih jauh dan terbuai lebih dalam, sehingga mimpi buruk menjadi lebih menonjol nantinya di masyarakat.

Film yang beragam akan membuat penonton Indonesia menjadi lebih dewasa. Penonton Indonesia bukan lagi penonton bodoh yang perlu disuapi dengan nilai-nilai yang dianggap 'baik' oleh orang lain. Ke depannya, biarlah penonton yang menilai baik buruknya makna sebuah film karena pada dasarnya semua film merupakan karya yang dibuat dengan baik. pur/R-1

Baca Juga: