Oleh Dr Gun Gun Heryanto, MSi

Ruang politik nasional kembali diwarnai manuver elite politisi sebagai bagian pemetaan kekuataan menjelang Pemilu 2019. Hary Tanoesoedibjo (HT), pengusaha MNC Group yang juga Ketua Umum Partai Perindo, secara mengejutkan menyampaikan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk capres kedua.

Hal ini bertolak belakang dengan sikap dan posisi politik sejak Pilpres 2014 yang mendukung Prabowo. Dia juga rajin mengkritik pemerintahan Jokowi. Manuver lainnya pertemuan SBY-Prabowo yang mulai menjajaki situasi dan konsolidasi. Sejumlah ketua umum partai juga mulai positioning, sambil berhitung situasi yang cepat berubah.

Jalur persaingan menuju 2019 sudah dibuka. Dengan pengesahan UU Penyelenggaraan Pemilu, KPU sudah bisa memulai rangkaian panjang tahapan pemilu serempak pertama legislatif dan presiden. Realitas politiknya mulai dibaca. Tak mudah maju sendirian, sekalipun partai besar pemenang pemilu. Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam UU Pemilu menuntut partai-partai mulai membuka diri berkongsi lebih dini.

Jika 2014, usai pemilu legislatif masih ada jeda untuk lobi dan negosiasi membangun kongsi, di Pemilu 2019 berbeda. Pemosisian harus mulai dilakukan sekarang, jika tidak akan ketinggalan "kereta." Mengusung dan mendukung berbeda jika diletakkan dalam bingkai pancapresan 2019.

Kalau mengusung berarti partai mencalonkan seseorang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden baik sendiri maupun gabungan. Sementara itu, mendukung saja belum tentu sampai di formal kandidasi dan bisa menjadi skenario permainan politik yang belum tentu berakhir bahagia.

Pernyataan HT akan mencalonkan Jokowi merupakan manuver yang tak bisa dibaca secara linear. Demikian juga perjumpaan SBY-Prabowo terlalu prematur sebagai poros Hambalang-Cikeas. Masih sangat mungkin berubah hingga putusan Mahkamah Konstitusi menyangkut ambang batas presiden.

Bagaimanapun manuver politisi seperti HT, Prabowo, SBY, Jokowi dan lainnya dalam peta jalan koalisi merupakan permainan elite. Ini menarik jika melihatnya dari perspektif game theory. Dalam tulisan Roger B Myerson, Game Theory: Analysis of Conflict (1991), teori permainan adalah studi tentang pengambilan keputusan strategis yang menekankan situasi bersaing di antara beberapa orang atau kelompok.

Kecenderungannya para pemain akan memilih strategi untuk memaksimalkan kemenangannya dan meminimalisasi lawan. Dalam konteks inilah, yang pertama dikuasai landasan permainan 2019. Kubu Jokowi telah memenangkan dengan pengesahan UU Pemilu. Dengan partai-partai yang menjadi penyokong kekuasaan 69,2 persen kursi di DPR atau 68,84 persen suara sah nasional dari tujuh partai pendukung pemerintah, mudah bagi Jokowi untuk menjadi kandidat.

Jika pun PAN tak lagi sejalan, Jokowi masih memiliki modal memadai untuk melaju. Sebaliknya peta ini menjadi pesan, teramat sulit membentuk poros ketiga. Maka, PKS, Gerindra, dan Demokrat harus mulai konsolidasi.

Peluang

Koalisi demi kandidat, partai politik kerapkali terlalu nyaman dengan perspektif elite. Dalam utak-atik koalisi parpol perspektif elite, yang menjadi pertimbangan mengusung kandidat biasanya strategic entry disebut struktur peluang (opportunity structure). Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya Making Vote Count soal strategic entry, biasanya dihitung pertimbangan-pertimbangan.

Biaya memasuki arena karena terkait pemodal dan jumlah pengeluaran salama pilpres. Biaya tak semata berupa uang, .tapi termasuk risiko politik, hukum, serta sosial. Misalnya dalam kasus HT, jika bersebrangan dengan Jokowi, risikonya lebih besar untuk kasus hukum dan imperium bisnisnya? Tentu tidak ada dukungan, apalagi usungan gratisan.

Kekuatan HT ada pada grup media. Kelemahannya terletak pada persoalan hukum yang membelit. Berhitung di antara keduanya itulah, manuver diambil dan dijalankan.

Proyeksi keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan terkait orientasi kekuasaan ke depan, jika kandidat menang. Tak salah memang partai berburu kekuasaan. Sebab, salah satu tujuan berpartai memang mengejar kursi. Dalam posisi ini biasanya calon incumbent seperti Jokowi diuntungkan.

Partai-partai penyokong pemerintah mulai mendeklariskan dukungan. Setelah Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, Jokowi tinggal menunggu dukungan PDIP. PKB dan PAN mungkin masih bisa ke mana-mana meskipun kecenderungannya bertahan. PAN berpotensi menyeberang ke kubu lawan.

Kemungkinan perolehan dukungan pemilih terkait paket figur yang dibuat apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak. Di sinilah letak paling sulit bagi Jokowi dan Prabowo di 2019. Hampir semua partai berkeinginan memajukan calon terutama di posisi wapres. Kehati-hatian memilih pasangan yang punya "tempat" di pasar pemilih ini tidak mudah.

Kerapkali ada ego sektoral untuk memasang sosok meskipun tingkat keterpilihan rendah. Nama Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN), Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB), Osman Sapta Odang (Ketua Umum Hanura), dan sejumlah elite partai baik di kubu Jokowi maupun Prabowo akan saling bersaing.

Jika melihat dinamikanya, ada beberapa model komunikasi politik elite dalam penjajagan koalisi. Model aliran satu tahap (one step flow model) di mana komunikasi antarelite parpol yang sedari awal sudah menanam kesepahaman saling beritikad baik menjadi kawan seperjuangan. Model ini jelas dari komunikasi politik PDIP, Nasdem, dan Hanura di kubu Jokowi serta Gerindra dan PKS di kubu Prabowo.

Kemudian model melingkar (circular model), komunikasi politik dengan cara menjajagi beragam peluang terbaik. Mereka membuka seluas-luasnya pintu bertemu dengan banyak kekuatan, sehinga berkesempatan untuk membuka area yang bisa disepakati. Posisi PAN dan PKB masih memungkinkan mengambil model ini.

Model komunikasi dua tahap (two-step models) mengambil inisiatif untuk memajukan "petarung" lebih dini ke gelanggang. Namun, ini juga menyiapkan alternatif terbaik andai jagoannya kalah. Sehingga dari awal komunikasi politik mereka tebar ke ragam kekuatan politik. Pola ini dengan cekatan dilakukan Golkar yang sejak dini mengajukan Jokowi. Tetapi juga punya pengalaman untuk loncat kongsi jika calonnya kalah.

Hal ini pernah ditempuh Golkar 2014, mengusung Prabowo lewat Koalisi Merah Putih (KMP). Saat jagoannya kalah mereka putar haluan mendukung Jokowi dan mendapat jatah di kabinet. Sejarah menunjukkan, Golkar memang paling piawai menjalankan pola dua tahap ini.

Sedang model pertautan (linkage model), mengandalkan irisan-irisan kesamaan di antara kekuatan nonarus utama. Saat ini sudah ada arus utama PDIP dan Gerindra. Bukan mustahil terbuka peluang poros ketiga meski untuk 2019 peluangnya kecil. Pola ini sangat mungkin dilakukan Partai Demokrat, PAN, PKS, dan PPP. Dengan catatan didukung partai lain hingga mencapai ambang batas.

Posisinya bisa saja menjadi pemecah konsentrasi dalam kontestasi. Misalnya, memunculkan poros ketiga, agar permainan tidak langsung head-to-head seperti 2014. Jika posisinya menjadi tautan, kongsi partai-partai model ini sangat menguntungkan Prabowo. Sama halnya seperti Pilkada DKI pemilih AHY-Silvy di putaran pertama lebih banyak pindah ke Anis-Sandi di putaran kedua.

Penulis pengamat politik

Baca Juga: