Bakteriofag adalah virus yang memangsa bakteri, menjadikannya kandidat yang baik untuk perawatan terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri "superbug".

Bakteri memiliki kemampuan untuk berkembang biak secara pesat sehingga memungkinkan mereka kebal dari antibiotik dalam tempo yang amat singkat.
Tapi saat ini para ilmuwan di University of California, San Diego (UC San Diego) telah mengakali evolusi untuk melawan bakteri dengan cara "melatih" virus pemangsa bakteri (bakteriofag) untuk mengantisipasi munculnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotik (superbug).
Ketika makhluk hidup terkena kondisi stres, beberapa individu akan bertahan hidup lebih baik daripada yang lainnya berkat terjadinya mutasi genetik acak yang memberikan sifat menguntungkan. Seiring dengan berjalannya waktu, sifat-sifat itu akan menyebar ke seluruh populasi hingga menjadi suatu hal yang normal.
Itulah evolusi yang terjadi di lapangan dan biasanya itu adalah proses yang amat luar biasa untuk membantu kehidupan bertahan dalam menghadapi kesulitan.
Bakteri adalah bagian dari evolusi alam yang paling produktif. Bakteri tidak hanya mampu mewariskan gen yang menguntungkan ke generasi berikutnya, tetapi juga berkelit pada generasi saat ini.
Jadi ketika bakteri dihadapkan dengan lingkungan dimana terdapat antibiotik yang amat kuat, makan tak mengherankan jika mereka berhasil berevolusi keluar dari bahaya dalam beberapa dekade.
Saat antibiotik yang jadi andalan manusia gagal mengobati infeksi, maka bakteri menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling mendesak dalam waktu dekat.
Oleh karena itu para ilmuwan kini kembali mencari alternatif yang lama diabaikan yaitu dengan metode pengobatan dengan bakteriofag.
Bakteriofag adalah virus yang secara khusus memangsa bakteri. Saat bakteriofag menjadi subjek penelitian awal bagi mengobati infeksi bakteri dan dianggap amat menjanjikan, maka penggunaan antibiotik mungkin akan segera segera ditinggalkan dalam ilmu kedokteran.
Dalam studi baru, para peneliti mencoba untuk "melatih" bakteriofag menjadi pembunuh bakteri yang lebih baik. Caranya, bakteriofag dikembangkan dalam labu laboratorium bersama bakteri target mereka selama 28 hari, sehingga mereka berevolusi bersama sekaligus mempelajari "rute pelarian evolusioner" yang mungkin coba dilakukan oleh bakteri.
Kemudian, bakteri yang sudah terlatih ini dilepaskan pada populasi bakteri lainnya dan tentu saja mereka sudah jauh lebih siap untuk mengincar targetnya dengan menekan perkembangan bakteri sekitar 1.000 kali lebih efektif daripada bakteriofag yang "tidak terlatih", serta efeknya pun sanggup bertahan antara tiga dan delapan kali lebih lama.
"Bakteriofag yang terlatih sudah memiliki pengalaman mengenai cara-cara bakteri untuk mencoba untuk menyelamatkan dirinya," kata Justin Meyer, penulis utama studi tersebut yang hasil penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences edisi Selasa (8/6) lalu.
"Bakteriofag telah 'belajar' dalam arti genetik dan mereka telah mengembangkan mutasi untuk membantunya mengantisipasi gerakan yang akan diambil bakteri. Kami juga menggunakan algoritme penyempurnaan bakteriofag sendiri serta evolusi melalui seleksi alam untuk mendapatkan kembali potensi terapeutiknya dan memecahkan masalah bakteri yang mengembangkan resistensi terhadap terapi lain," imbuh Meyer.
Studi yang dilakukan para peneliti di UC San Diego ini juga menambahkan bukti lebih lanjut untuk mendukung penggunaan terapi bakteriofag untuk mengobati infeksi bakteri. Beberapa tahun yang lalu pengobatan dengan bakteriofag diberikan kepada seorang pasien manusia dengan infeksi yang berbahaya untuk pertama kalinya dan mungkin pemberian terapi itu telah menyelamatkan hidupnya.
Dengan memanfaatkan bakteriofag yang sudah terlatih ini, maka terapi pengobatan ini tidak perlu membunuh bakteri untuk berfaedah dan memungkinkan peluang bagi infeksi yang disebabkan superbug bisa disembuhkan lagi secara efektif oleh antibiotik. NewAtlas.com/I-1

Baca Juga: