Setiap anak memiliki potensi yang bisa dikembangkan, hal ini juga berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti autis.

Dessy Arnas, Professional Image Coach - President Elect International Coach Federation Jakarta mengungkapkan, orangtua bertugas menggali bakat dan minat anak autis agar kemampuannya bisa dimaksimalkan.

"Salah satunya adalah seni yang bisa dieksplorasi untuk menggali kreativitas anak autis," kata Dessy.

Bila potensinya sudah tergali, anak autis bisa menghasilkan karya yang tak kalah atau bahkan lebih hebat ketimbang anak normal lainnya.

Sebut saja Michael Anthony, remaja Indonesia ini terlahir tuna netra dan autis, tapi ia bisa jadi pianis yang bisa menggelar resital piano tunggal. Michael pun meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia.

"Selain melatih kreativitas, seni juga bisa membangun kepercayaan diri anak," katanya.

Orang-orang yang berada di sekitar anak autis, seperti orangtua dan pengasuh, juga harus lebih mencurahkan perhatian untuk mereka.

Selain itu, penting juga untuk tidak "mengekang" anak autis dari lingkungan sekitar. Menyekolahkan anak ke sekolah umum yang menyediakan fasilitas untuk anak berkebutuhan khusus bisa jadi pilihan untuk membiasakan anak hidup di tengah masyarakat.

"Tentu tidak ditinggalkan begitu saja, ada pendampingan dari sekolah atau orangtua," katanya.

Di sisi lain, teman-teman sebaya di sekolah juga harus diberi pemahaman agar tidak membeda-bedakan anak berkebutuhan khusus. Dessy mengatakan setiap anak sebaiknya diajari untuk menyadari bahwa semua orang bisa berkarya dan bermanfaat, termasuk anak autis.

Memilih Terapi Tepat

Orang tua dari anak dengan gangguan spektrum autisme mungkin kewalahan memilih mana tempat terapi yang terbaik agar kemampuan buah hati berkembang.

Setiap anak yang didiagnosis autisme punya kebutuhan berbeda, maka terapi yang disarankan untuk mengikis masalah perilaku yang paling mengganggu juga bervariasi untuk tiap individu

Misalnya, terapi bicara belum cocok untuk anak yang belum bisa duduk tenang alias tidak bisa diam, kata psikolog Adriana Soekandar Ginanjar.

"Orang tua juga harus belajar, harus mengetahui seperti apa terapi yang baik jadi bisa mengobservasi apakah terapisnya benar atau tidak," kata Adriana dalam talkshow autism di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ketika sudah menemukan terapis yang baik, orang tua tidak boleh serta merta mengalihkan tanggung jawab pada pihak ketiga.

Orang tua juga harus mengamati dan mempelajari materi terapi sehingga bisa dipraktikkan berulang-ulang di rumah. Bila ruang terapinya tertutup bagi orang tua, jangan sungkan untuk bertanya pada terapis.

"Harus diterapkan juga materi yang sama di rumah," katanya.

Di sisi lain, Indonesia masih kekurangan terapis untuk menangani pasien autisme. Hal ini disebabkan minimnya jumlah sekolah yang melahirkan para terapis.

"Hanya ada tiga, di Jakarta, Bandung dan Solo. Yang kurang itu terapis okupasi dan terapis bicara," kata Rini Sekartini dari Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Sekolah terapis juga bukan jurusan yang lazim diambil oleh murid-murid sekolah menengah ke atas yang akan melanjutkan pendidikan.

Mereka yang tinggal di kota besar lebih beruntung karena para terapis mudah dicari, beda halnya dengan pasien autisme yang tinggal di luar kota besar.

Ini bisa menghambat perkembangan pasien yang terpaksa harus "berebut" terapis.

"Misalnya yang harus ikut sesi 60 menit jadi cuma 30 menit karena banyak antrean," imbuhnya. pur/R-1

Diminati Warga Asing

Pada kesempatan berbeda, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Achsaniyyah di Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang khusus untuk memberikan terapi terhadap anak penyandang autis agar normal kembali diminati warga asing.

Menurut Pendiri Ponpes Al Achsaniyyah Muhammad Faiq Afroni di Kudus, warga asing yang berminat memasukkan penyandang autis, di antaranya dari Irak dan Malaysia.

Jumlah penyandang autis yang hendak didaftarkan ke Ponpes Al Achsaniyyah, kata dia, dari Irak sebanyak lima orang.

Karena belum memiliki sumber daya manusia (SDM) yang menguasai bahasa asing, kata dia, untuk sementara belum bisa diterima.

"Jika sudah memiliki SDM yang menguasai bahasa asing, salah satunya bahasa Arab tentu warga Irak yang hendak mondok di Ponpes Al Achsaniyyah akan diterima," ujarnya.

Ketertarikan warga asing untuk memondokkan penyandang autis di Ponpes Al Achsaniyyah, kata dia, salah satunya karena selain diberikan terapi untuk penyembuhan para penyandang autis juga dibekali ilmu agama seperti layaknya di ponpes pada umumnya.

Adapun jumlah santri sebanyak 75 orang yang paling muda usia empat tahun dan paling tua usia 41 tahun.

Sementara tenaga pengajarnya, kata dia, berjumlah 50 orang yang dibagi menjadi tiga shift, yakni mulai dari pagi, siang dan sore hari.

Untuk mengajarkan anak berkebutuhan khusus, katanya, tidak mudah dan dibutuhkan kesabaran karena anak sering marah dan mengamuk tanpa sebab.

Bahkan, sejumlah guru sudah sering mengalami pemukulan dan cakaran dari para santri yang notabene penyandang autis.

Dalam memulihkan penyandang autis, dibutuhkan kerja sama dengan orang tua, karena ada sejumlah makanan yang harus dihindari penyandang autis.

Pasalnya, pengalaman sebelumnya setiap santri yang pulang ke rumah, sering melanggar larangan tersebut.

"Sepanjang orang tua mau memercayai kami dan tidak menuntut banyak hal, maka upaya pemulihan akan dilakukan secara maksimal," ujarnya.

Setiap penyandang autis, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga penanganannya juga tidak sama.

Beberapa penyandang autis, ada yang pulih dalam waktu tidak lama, namun ada pula yang harus menjalani terapi selama beberapa tahun.

Penyandang autis yang sudah pulih, tidak hanya dibekali dengan ilmu agama, melainkan dibekali pula dengan sejumlah keterampilan, seperti desain grafis dan keahlian di bidang komputer.

Setidaknya, santri yang keluar dari pondok pesantren memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri.

Dalam setahun, biasanya pondok pesantren tersebut memulangkan hingga lima santri yang telah sembuh dan bisa beraktivitas secara normal layaknya orang pada umumnya.

Rencananya, Ponpes Al Achsaniyyah juga akan membuat fasilitas tambahan untuk membekali keahlian kerja para penyandang autis yang sudah pulih.

Beberapa santri yang pulih dari penyakit autis, juga ada yang melanjutkan pendidikan di sekolah umum.

Salah seorang santri, Budi Purnomo asal Jakarta mengakui, dirinya sudah dua tahun berada di pondok khusus autis tersebut. Selain rutin mengaji, dirinya juga rajin berolahraga, salah satunya berenang. Ant/pur/R-1

Baca Juga: