Erupsi besar Gunung Merapi 2010 meluluhlantakkan sebagian besar lereng Merapi arah selatan dan barat. Sebagian besar vegetasi di sana mati. Tak lama setelah itu, bahkan saat rumput dan pohon bambu belum kembali tumbuh, ada satu tumbuhan yang sudah berbunga yaitu bunga anggrek vanda tricolor.

"Artinya apa? Artinya anggrek asli Merapi ini punya daya hidup yang hebat. Bisa bertahan dalam situasi apa pun. Inilah saya kira arti kemerdekaan ya, yakni punya daya hidup yang hebat dan terus berkembang mewangi," kata pendiri Titi Orchid Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Suprih Lestariati Bangun Andarini, saat ditemui Koran Jakarta, di kebunnya, beberapa waktu yang lalu.

Titi bercerita mengenai ketidakpedulian negara dan masyarakat atas nasib plasma nutfah atau varietas asli Indonesia. Konversi lahan hutan di Jawa maupun luar Jawa benar-benar mengabaikan kelestarian plasma nutfah. Hutan seisinya hilang tanpa sisa.

Apakah bangsa ini akan bisa mengarungi zaman kalau warisan genetik tumbuhan maupun hewan yang terbukti mampu mengarungi ribuan tahun Nusantara tak menjadikan pelajaran bagi masyarakat. "Dari anggrek saja kan banyak kandungannya yang tentu bermanfaat bagi rakyat. Negara-negara maju meneliti dan mengembangkan plasma nutfah kita, sementara kita abai, kenal saja tidak," kata Titi.

Vanda tricolor, plasma nutfah Merapi, tak banyak yang mengenal sebelum Titi Orchid bersama Perhimpunan Anggrek DIY memopulerkannya setelah erupsi Merapi 2010. Dari puluhan anggrek asli Merapi, tinggal vanda tricolor yang tersisa, dan kini mulai banyak yang mengembangkannya. "Kini harga vanda tricolor yang dimiliki masyarakat Turgo dan lereng Merapi itu sudah jutaan. Dari nggak kenal, kini sayang dan jadi penghasilan ekonomi. Di luar negeri, bibitnya saja laku 75 dollar AS," kata Titi.

Jati Diri Bangsa

Ketua Perhimpunan Anggrek Indonesia (PAI), Endang Semiarti, mengatakan plasma nutfah adalah jati diri dan kekayaan tak ternilai milik sebuah bangsa. Di varieties apapun, Indonesia selalu berada di nomor 1 atau 2 besar keanakeragaman hayati plasma nutfahnya. Namun, sebagian kini terancam punah.

Data menunjukkan, dari unggas hingga anggrek, plasma nutfah Indonesia terancam semua, dan kalah jauh pengembangannya dibanding negara yang sama sekali tidak memiliki varietas asli seperti Singapura. Dari 30 ribu jenis anggrek di dunia, 5 ribu ada di Indonesia dan 2 ribu sudah diidentifikasi. Namun, illegal logging dan kebakaran hutan membuat anggrek Indonesia diperkirakan tinggal separuhnya itupun dalam keadaan tak terawat.

"Anggrek justru dikembangkan di Singapura dan Tiongkok jadi obat kanker, jadi kosmetik, aroma terapi, suvenir, dekorasi, pot plant event yang nilainya miliaran rupiah. Itu anggrek kita semua, kita malah sering impor dari sana," kata Endang, yang juga pakar anggrek Fakultas Biologi UGM ini.

Keanekaragaman plasma nutfah sangat penting dalam menjaga, terutama ketahanan pangan di masa depan. Tumbuhan dan hewan asli agroklimat Indonesia, memiliki segala yang diperlukan untuk tumbuh di Indonesia karenanya mereka terus bertahan. Jika plasma nutfah habis, maka tidak tersedia informasi bagi bangsa ini untuk mengarungi tantangan iklim dan situasi pangan ke depan.

Jadi kalau mau merdeka, merdekakan dulu plasma nutfah. Jangan sampai dia punah. Kalau mau makmur, makmurkan dulu plasma nutfah.

eko sugiarto putro/N-3

Baca Juga: