Pilkada 2018 secara serentak telah selesai. Hasilnya kini sudah bisa diketahui. Pilgub Jateng dimenangkan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin dengan raihan 56,29 persen dukungan (10.362.694 suara). Sedangkan Pilgub Jawa Barat dimenangkan pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dengan raihan 32,88 persen dukungan (7.226.254 suara).
Sementara itu, Pilgub Jawa Timur dimenangkan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dengan raihan 53,55 persen dukungan atau 10.465.218 suara, dst. Secara umum, penyelenggaraan Pilkada 2018 berlangsung sukses. Berdasarkan hasil rekapitulasi Pilkada 2018, masyarakat antusias berpartisipasi menggunakan hak pilih. Hal ini menunjukkan, demokrasi berjalan baik.
Melalui Pilkada 2018, para elite politik dan partai politik nasional juga bisa menghitung kekuatan riil dalam menggerakkan dukungan massa ke kandidat-kandidat gubernur, bupati, wali kota, maupun wakilnya. Kekalahan maupun kemenangan pemimpin daerah merupakan hukum alam kompetisi, termasuk pilkada.
Pemenang yang dinilai menggunakan cara-cara tidak baik atau melanggar hukum, negara telah menyediakan saluran pengadilan melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Peserta kalah yang kemudian mengakui secara ksatria, tindakan tersebut patut diteladani. Inti penyelenggaraan demokrasi, bukanlah menang atau kalah, melainkan keadilan dan kesempatan berpartisipasi membangun bangsa.
Berdasarkan catatan MK dan KPU, ada 29 gugatan hasil Pilkada 2018 yang diterima hingga 10 Juli 2018. Angka tersebut cukup tinggi, dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial maupun konflik hukum jika tidak bisa diputuskan secara adil. Ketangkasan dan kecepatan MK memutus sengketa hasil Pilkada 2018 sangat penting karena pengadilan tersebut terikat waktu.
Terlepas dari sengketa, rakyat bisa memastikan Pilkada 2018 menjadi tolok ukur para bakal calon presiden dan wakil yang diusung partai memformulasikan kekuatan politik. Pemilu 2019 memiliki perbedaan dengan Pilkada 2018. Namun, para pemilih dalam Pilkada 2018 juga partisipan Pemilu 2019. Bahkan, angkanya mencapai lebih dari 80 persen dari jumlah pemilih Pemilu 2019.
Berdasarkan catatan KPU, jumlah pemilih Pilkada 2018 ada 152 juta. Sedangkan pemilih Pemilu 2018 tak kurang dari 186 juta. Dengan demikian, sangat wajar jelang Pilkada 2018 kemarin, para elite politik nasional terjun langsung ikut berkampanye sampai ke akar rumput. Partai sebagai institusi yang memiliki legalitas mengusung kandidat untuk menduduki jabatan politik daya tawarnya makin tinggi pada musim pilkada maupun pemilu.
Mudah Pindah
Inilah yang menyebabkan politisi dengan mudah pindah partai demi mendapat kendaraan. Namun, itu saja belum cukup untuk bisa memenangkan kontestasi pilkada, pilpres, maupun pemilu legislatif (pileg). Mereka harus didukung utuh akar rumput anggota partai atau massa mengambang yang tidak terkoneksi partai.
Kondisi perekonomian nasional yang belum cukup baik, mengakibatkan harga-harga bahan pokok dan kebutuhan primer semakin mahal. Dengan jumlah penduduk miskin 26,5 juta jiwa, jelas menjadi pekerjaan berat pemerintah dalam melakukan percepatan pembangunan. Sebaliknya, pembangunan nasional berpotensi mengalami perlambatan.
Perekonomian nasional juga masih mengandalkan utang yang telah mencapai nominal 5.425 triliun rupiah. Artinya, dalam jangka 4 tahun pemerintahan Joko Widodo -Jusuf Kalla, ada kenaikan utang 2.890 triliun atau setinggi 77,54 persen dari 2014. Beban rakyat juga semakin berat karena lapangan kerja masih sempit.
Buktinya terdapat 6,87 juta penduduk pengangguran. Jika pemerintahan ingin ikut berkontestasi dalam Pemilu 2019 mendatang, memiliki tantangan jauh lebih berat dar Pemilu 2014. Sebab, modal pertama yang bisa menarik simpati masyarakat jaminan kehidupan perekonomian nasional yang stabil dan membaik.
Tanpanya, sehebat apa pun para kandidat yang diusung partai ataupun gabungan sulit memenangi kontestasi. Selain itu, tingginya kompleksitas relasi berbangsa dan bernegara yang berlangsung secara internasional, faktor keamanan nasional menjadi kebutuhan primer. Di samping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan sosial, budaya, kesehatan, dan pendidikan secara memadai.
Untuk itulah dalam Pemilu 2019 mendatang, bangsa membutuhkan para pemimpin yang memiliki perhatian dalam bidang ekonomi dan keamanan nasional. Dia juga tokoh yang mampu memajukan kehidupan sosial, budaya, kesehatan, dan pendidikan. Ada cukup banyak stok tokoh nasional yang layak menjadi presiden.
Semakin dekatnya masa pendaftaran calon presiden 4-10 Agustus 2018 membuat tensi politik beberapa waktu ke depan semakin panas. Partai yang memiliki kesamaan ideologi, kepentingan, dan tujuan akan kongsi agar dapat mengegolkan kader terbaik dalam Pilpres 2019. Komunikasi politik antarelite juga semakin intensif.
Konsekuensinya, manuver-manuver politik akan terus terjadi. Rakyat harus pandai membaca situasi tersebut dan mengambil hikmah terbaik. Masyarakat hanya dapat berharap agar peta politik yang semakin panas, tidak menimbulkan friksi-friksi dan konflik massal. Dunia politik jangan membuat gaduh, tapi harus membuat rakyat bergairah menjalani kehidupan agar lebih maju.
Supadiyanto,Ketua Program Studi Stikom Yogyakarta