Judul : Politik Sirkulasi Budaya Pop
Penulis : Wahyudi Akmaliah
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : April, 2019
Tebal : xiv + 193 halaman
ISBN : 978-602-1318-94-2

Kehadiran internet dalam praktik keseharian mengubah pola-pola interaksi trasansaksional dan mempengaruhi sistem produksi-reproduksi wacana publik. Distribusi wacana dulu hanya lewat satu medium, kini lebih banyak. Budaya populer tidak berhenti sebagai kepanjangan tangan industri hiburan, tapi semacam mesin politik untuk merayu massa.

Buku cermat mengamati peristiwa-peristiwa politik kontemporer dengan menautkan budaya populer sebagai titik analisisnya, khususnya media sosial. Buku kumpulan esai ini secara umum menyoal aspek budaya pop dalam pusaran kekuasaan, media baru dan pergeseran otoritas, serta gelombang islamisasi dan komodifikasi agama.

Esai pertama tentang irisan produk budaya pop dalam pusaran kekuasaan, khususnya pemilihan calon kepala daerah. Ia menganalisis kekalahan pasangan Foke-Nachrowi dari Jokowi-Ahok dalam putaran Pilgub Jakarta 2012 karena Foke-Nachrowi tidak merepresentasikan angin segar dalam memandang segudang permasalahan DKI.

Begitu juga pasangan AHY-Sylvi pada Pilgub Jakarta 2017. Tim suksesnya membuat 11 lagu kampanye di YouTube. Sedangkan 15 lagu lainnya hanya lomba lipsync. Sementara itu, lawannya, pasangan Anies-Sandi membuat 10 lagu, empat di antaranya diciptakan relawannya sendiri (hal 4). Mereka benar-benar menyiapkan produk budaya populer untuk menarik hati masyarakat.

Dangdut koplo hari ini tidak hanya ada di lorong-lorong kampung, tapi merambat ke kota-kota. Tak heran, biduan sekelas Via Vallen dipilih untuk mengisi official soundtrack Asian Games 2018. Ia menakar kekuatan Via Vallen dalam konstelasi Pilkada Jawa Timur.

Pasangan Gus Ipul-Puti menggaet Via Vallen dan merilis lagu Kabeh Sedulur Kabeh Makmur di YouTube. Sementara itu, Khofifah-Emil merangkul Anang-Ashanty, Pasha Ungu, dan Arumi Bachin (hal 18). Praktik-praktik budaya pop menjadi salah satu faktor penting mendulang elektabilitas. Dalam konteks ilmu pengetahuan, buku in mencermati talkshow di televisi banyak menjadi parameter wajah peradaban tanah air.

Banyak tayangan lalu dirilis ke berbagai media daring dan tak jarang dijadikan meme sebagai representasi dagelan politik yang kemudian menjadi perbincangan hangat di medsos. Ini menggeser fungsi perguruan tinggi sebagai tempat memproduksi dan menyemai ilmu pengetahuan.

Sebelumnya, otoritas agama Islam dipegang Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Kemudian, muncul kanal televisi swasta sejak tahun 90-an yang menghadirkan acara-acara bernuansa islami memunculkan istilah baru. Para pakar ini disebut sebagai televangalisme Islam. Istilah ini disematkan kepada ustaz-ustaz anyar. Tren zaman kian berubah. Otoritas keagaman pun bergeser. Ustaz-ustaz jebolan YouTube semakin menggeser para penceramah televangalisme tadi.

Buku juga mengamati aktor-aktor populer yang menjadi perhatian publik di jagat politik seperti Jonru dan Nurhadi-Aldo. Sementara itu, dalam pergulatan Pilpres 2019, medsos juga menjadi jalan tengah kemuakan dua kubu "cebong" dan "kampret." Kemunculan capres fiksi Nurhadi-Aldo memberikan angin segar dan mengademkan situasi politik yang kian memanas saat itu. Nurhadi-Aldo telah mengembalikan kewarasan publik medsos, meski dengan cara tidak waras juga.

Terakhir, buku menyoroti menguatnya islam politik. Komodifikasi agama merajalela untuk mengambil ceruk dukungan massa. Medsos dan gelombang pascakebenaran menjadi senjata ampuh untuk mempengaruhi opini publik. Islamisasi ruang publik tak terelakkan. Faktor kasus Ahok dalam penistaan agama, gerakan 212, hingga keputusan Jokowi untuk merangkul Ma'ruf Amin adalah beberapa analisis buku untuk menggambarkan benang merah kekuatan Islam politik.

Buku ini mengupas simpul-simpul budaya pop bekerja pada mesin politik yang berdampak kuat di masyarakat. Sayang, kumpulan 25 esai ini masih minim catatan kaki. Jadi, batasan antara sentimen subjektivitas penulis dan telaah ilmiah kurang terasa. Diresensi Gunawan Wibisono, Alumnus Magister Sosiologi UNS

Baca Juga: